English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Wednesday, July 2, 2014

PENDIDIKAN INKLUSIF: Peluang Bagi Kualitas Anak Dan Remaja Khusus

Banyak orang yang mempertanyakan mengapa harus melalui pendidikan inklusif. Berbagai pertanyaan itu kini sudah mulai terjawab. Keistimewaan pendidikan inklusif itu diantaranya bagi anak berkebutuhan khusus, akan terhindar dari label negatif. Hal ini karena anak-anak difabel bisa bersosialisasi secara luas di sekolah umum yang mempunyai tingkat keragaman yang berbeda-beda. Selain itu memiliki kesamaan menyesuaikan diri.
Siswa difabel mempunyai kesempatan untuk bersosialisasi dengan civitas akademika sekolah secara lebih luas, dan mempunyai lebih banyak teman. Dengan demikian kesempatan untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dapat optimal, dan mempunyai tingkat kematangan sosial yang lebih baik.
Secara garis besar pendidikan inklusif bukan terletak pada sekolahnya, melainkan pada program sekolahnya. Oleh sebab itu, dalam dunia ortopedagogik tidak dikenal istilah sekolah inklusif , tetapi yang ada adalah program pendidikan inklusif . Program pendidikan inklusif masih berada di antara dua sisi yang masih samar-samar, yakni antara “tren” pendidikan dan hakikat pendidikan. Hal ini dikarenakan minimnya landasan keilmuan para pendidik. Padahal, dengan pemahaman yang tepat yangdimiliki oleh seorang pendidik, maka dapat menjadi faktor penentu penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif adalah pelayanan pendidikan untuk peserta didik yang berkebutuhan khusus tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial emosional, linguistik atau kondisi lainnya untuk bersama-sama mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah regular ( SD, SMP, SMU, maupun SMK). 
Keistimewaan pendidikan inklusif yang membedakannya dengan pendidikan regular adalah pendidikan inklusif memungkinkan seorang anak tumbuh menjadi percaya diri, “pro social behavior” (tenggang rasa, penuh empati), serta mampu mengubah perilaku anak, karena lingkungan sekolah adalah kurikulum tersendiri dalam pembentukan perilaku. Tujuan praktis yang ingin dicapai dalam pendidkan inklusif meliputi tujuan langsung oleh anak seperti berkembangnya kepercayaan pada diri anak serta dapat merasa bangga pada diri sendiri atas prestasi yang diperolehnya (Syahrul, 2012). 
Pendidikan inklusif tidak hanya berarti mengintegrasikan anak-anak berkebutuhan khusus kedalam sekolah reguler (umum) atau hanya akses pendidikan bagi mereka yang terisolir, tetapi pendidikan inklusif merupakan sebuah proses dua arah untuk meningkatkan partisipasi dalam belajar dan mengidentifikasi serta mengurangi atau menghilangkan hambatan untuk belajar dan berpartisipasi. Dalam implikasinya, pendidikan inklusif menyediakan kesempatan seluas-luasnya kepada semua peserta didik berkebutuhan khusus untuk bersama-sama menikmati layanan pendidikan dalam setting pembelajaran, dan sistem pendidikannya menyesuaikan dengan kebutuhan anak. Sehingga yang dipertanyakan oleh sekolah, bukan lagi “Dapatkah kita menyediakan pelayanan bagi kebutuhan siswa?”, melainkan “Bagimana kita menyediakan pelayanan bagi siswa berkebutuhan khusus?”(Foremen, 2001).
Peserta didik berkebutuhan khusus sebagai bagian dari peserta didik pada umumnya berhak untuk memperoleh pendidikan yang sama. Kesempatan memperoleh pendidikan tidak terbatas hanya di sekolah khusus atau sekolah luar biasa, akan tetapi juga di sekolah umum atau sekolah reguler, terutama sekolah yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Setiap anak mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri, memiliki cita-cita dan harapannya sendiri, sehingga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Sistem pendidikan bukanlah memisahkan antara peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik umumnya yang tidak berkebutuhan khusus, melainkan sistem pendidikan yang dapat menampung kebutuhan setiap anak dalam satu lembaga pendidikan yang dipersatukan. Pendidikan inklusif memberikan kesempatan yang sama antara peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik umumnya untuk menerima pendidikan dengan kualitas yang sama dalam satu kegiatan pembelajaran dalam satu kelas (http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195405271987031-MOHAMAD_SUGIARMIN/artikel_untuk_dies_natalis.pdf). 
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh banyak ahli, ditemukan bahwa pendidikan inklusif memiliki banyak manfaat bagi semua siswa dan personil sekolah karena berfungsi sebagai sebuah contoh atau model bagi masyarakat yang inklusif (Florida State University Center for Prevention & Early Intervention Policy 2002). Adapun keuntungan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah: 
a) Dalam pendidikan dasar maupun menengah, ditemukan bahwa prestasi akademis siswa pada sekolah inklusif sama dengan atau lebih baik dari pada siswa yang berada di sekolah yang tidak menerapkan prinsip iklusi. 
b) Adanya penerapan belajar co-teaching, siswa yang memiliki ketidakmampuan tertentu dan siswa yang lambat dalam menyerap informasi mengalami peningkatan dalam keterampilan sosial dan semua siswa mengalami peningkatan harga diri dalam kaitan dengan kemampuan dan kecerdasan mereka.
c) Siswa yang memiliki ketidakmampuan tertentu mengalami peningkatan harga diri atau kepercayaan diri semata-mata hanya karena belajar di sekolah reguler daripada sekolah luar biasa. 
d) Siswa yang tidak memiliki ketidakmampuan tertentu mengalami pertumbuhan dalam pemahaman sosial dan memiliki pemahaman dan penerimaan yang lebih besar terhadap siswa yang memiliki ketidakmampuan tertentu karena mereka mengalami program inklusif (http://bambangdibyo.files.wordpress.com). 
Pendidikan inklusif dengan pandangannya telah memberi peluang bagi peserta didik berkebutuhan khusus untuk mendapatkan apa yang menjadi hak mereka. Dengan demikian pendidikan inklusif memberi keuntungan bagi peserta didik berkebutuhan khusus untuk mendapat pengetahuan dan kesempatan untuk hidup secara alami dalam masyarakat, hidup dalam kepatutan dan menghargai hidup, menerima mereka sebagai bagian seutuhnya dalam anggota masyarakat dan memberi sumbangan secara aktif dalam pembangunan. 

Daftar Pustaka


Andi Sitti Rohadatul‘ Aisy. Kembalikan Makna ‘Pendidikan Untuk Semua’ Dengan Pendidikan Inklusif. http://www.academia.edu/5145747/KEMBALIKAN_MAKNA_PENDIDIKAN_UNTUK_SEMUA_DENGAN_PENDIDIKAN_INKLUSIF di akses pada tanggal 27 Juni 2014

Dibyo, Bambang Wiyono. Pendidikan Inklusif. 

Phil Foreman, dkk. 2001. Integration and Inclusion in Action (2nd ed). Australia:Nelson Thomson Learning. 

Sugiarmin, Mohammad. Peserta Didik Berkebutuhan Khusus Dalam Perspektif Pendidikan Inklusif. http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195405271987031-MOHAMAD_SUGIARMIN/artikel_untuk_dies_natalis.pdf di akses pada tanggal 27 Juni 2014

Syahrul, Firtiani F. 2012. Pintar Saja Tidak Cukup (Menggali Potensi di Sekolah Inklusif). Jakarta: Lentera Insan CDEC



Saturday, March 16, 2013

Saat Cinta Berubah Menjadi Benci


Cemburu dan rasa dikhianati karena merasa diselingkuhi membuat BS (36) gelap mata. Ia pun tega menyiksa, membunuh, dan memotong-motong jasad perempuan yang pernah ia cintai, DS (32). Cinta yang dibina bertahun-tahun pun runtuh menjadi benci dan memicu amarah yang membara. 

Cinta yang berubah jadi benci hingga tega bertindak keji di luar kemanusiaan bukan hanya dilakukan BS, melainkan juga pelaku mutilasi lain seperti Very Idham Henyansyah alias Ryan yang kasusnya terungkap pada 2008. Pria ini tega membunuh sedikitnya 10 orang, beberapa di antaranya dimutilasi dan punya hubungan asmara dengannya.

Cinta, cemburu, marah, dan benci, apa pun orientasi seksualnya, merupakan perilaku yang dihasilkan otak sosial manusia. Otak sosial ini merupakan kombinasi dari kemampuan pikir atau logika yang berpusat di korteks (lapisan terluar) otak serta pengelolaan emosi yang berpusat di sistem limbik.

Munculnya cinta di otak jauh lebih kompleks dibanding perasaan yang lain karena melibatkan lebih banyak komponen otak, hormon, dan zat kimia otak (neurotransmitter).

Helen Fisher penulis The Drive to Love: The Neural Mechanism for Mate Selection dalam buku The New Psychology of Love, 2008, menyebut cinta muncul dalam tiga tahapan berbeda di otak, mulai dari dorongan seksual, ketertarikan, dan keterikatan. Setiap tahapan melibatkan hormon, neurotransmitter, dan bagian otak berbeda.

Keterikatan mendorong otak memproduksi hormon oksitosin. Hormon ini membawa rasa keterikatan di antara dua orang yang saling mencinta hingga lahir rasa senang dan bahagia. Saat cinta berkurang dan muncul benci, produksi oksitosin berkurang.

”Otak tak dapat ditipu dengan cinta pura-pura,” kata Sekretaris Jenderal Masyarakat Neurosains Indonesia (INS) yang juga dosen Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Taufiq Pasiak, Sabtu (9/3).

Rasa peduli yang ditunjukkan seseorang kepada pasangan karena barang-barang mahal yang diberikan, tak bisa merangsang otak memproduksi oksitosin.

Cemburu, menurut Christine R Harris dalam The Evolution of Jealously pada American Scientist Volume 92 Nomor 1, 2004, adalah emosi negatif yang muncul saat hubungan seseorang dengan orang lain yang spesial terancam oleh adanya pesaing lain. Cemburu menjadi penyebab kematian terbesar ketiga di luar kecelakaan.

Meski cemburu adalah emosi bawaan, ekspresi pada setiap orang berbeda sesuai dengan kemampuan sosial kognitif dan tumbuh kembangnya. Inilah yang membuat cemburu yang tidak wajar (morbid jealousy) tidak membedakan jenis kelamin yang merasakan.

Menurut Taufiq, cinta tidak bisa berubah seketika menjadi benci. Untuk muncul benci, harus ada stimulus berkelanjutan yang mengikis rasa cinta.

Benci dapat muncul karena cemburu, amarah, atau bosan. Cemburu merupakan basis munculnya benci yang paling berbahaya. Cemburu yang tidak wajar berbeda jauh sifatnya dengan cemburu yang sering dianggap sebagai bumbu sebuah hubungan. ”Cemburu paling berbahaya karena bisa membuat seseorang dikontrol oleh emosinya, bukan logikanya,” ujarnya.

Pertahanan diri
Dasar cinta adalah memberi rasa tenang dan bahagia. Jika rasa itu terancam, seperti hadirnya cemburu atau rasa dikhianati karena diselingkuhi, maka otak dengan cepat membentuk sistem pertahanan diri untuk menjaga rasa tenang dan bahagia tetap ada. Respons pertahanan diri itu berupa bertarung menghadapi ancaman (fight) atau melarikan diri (flight).

Saat sistem pertahanan diri terbentuk, hormon kortisol sebagai penanda stres diproduksi. Energi dalam diri pun terpusat hingga tubuh siap melakukan tindakan fisik, baik itu memukul maupun berlari.

Ketika energi terpusat, seseorang bisa melakukan hal-hal yang tak mungkin dilakukan dalam kondisi normal, seperti melompati tembok tinggi hingga membunuh orang dengan sadis.

”Respons bertarung ini merupakan respons binatang yang masih ada dalam diri manusia ketika berevolusi,” katanya.

Namun, cara bertarung tidak selalu mewujud dalam tindakan kasar. Perilaku kekerasan, seperti memukul, menendang, hingga membunuh biasanya ditunjukkan oleh mereka yang logikanya tidak terbentuk alias tidak terdidik baik. Jika logika berjalan, yang muncul adalah kata-kata makian hingga pengusiran.

Peneliti Pusat Kesehatan Mental Masyarakat, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Rahmat Hidayat, mengatakan, ketika cinta begitu posesif hingga tak mampu membedakan antara diri sendiri dan orang lain, maka rasa kehilangan yang muncul akan menjadi akut.

Ketakutan akut inilah yang mendorong muncul kekejian karena tindakan yang diambil hanya didasarkan atas pilihan menghilangkan atau kehilangan.

Kekejian tindakan yang dilakukan seseorang sangat bergantung pada kematangan kontrol diri. Seseorang yang emosinya matang jika marah tidak akan bersikap seperti anak-anak, seperti membanting benda-benda di sekitarnya. Mental pelaku mutilasi yang umumnya belum berkembang membuat mereka mudah membunuh, bahkan memotong tubuh orang yang pernah dicintai.

”Berubahnya tatanan kehidupan membuat banyak anak terlambat mengalami kematangan psikologis. Pada saat bersamaan, kematangan seksual justru terjadi lebih cepat,” katanya.

Psikiater dan Ketua Jejaring Komunikasi Kesehatan Jiwa, Pandu Setiawan, Senin (11/3), mengatakan, pola pertahanan diri tiap orang sangat bergantung pada pola asuh dan tumbuh kembang sejak kecil. Selain faktor biologis dan psikologis, kematangan jiwa juga ditentukan oleh kondisi sosial.

Perilaku pelaku mutilasi yang menyimpang dari norma sekitarnya umumnya sudah terdeteksi. Namun, masyarakat sekitarnya umumnya tidak peduli karena menganggap bukan urusan mereka.

Selain itu, pelaku bisa melakukan tindakannya karena ada model. Inilah yang membuat tayangan kekerasan perlu dibatasi agar tak justru mendorong seseorang berbuat keji.

Mereka yang menunjukkan respons bukan dengan kekerasan, kata Taufiq, bukan berarti lemah. Orang itu justru mampu memperhitungkan untung rugi, benar salah, konsekuensi hukum, hingga penghormatan atas moral dan nilai.

”Sayangnya, anak Indonesia tidak dididik membuat keputusan berdasar logika. Keputusan yang diambil lebih banyak didasarkan atas naluri,” ujarnya. Inilah yang membuat kasus-kasus mutilasi di Indonesia lebih mudah terungkap dibanding kasus serupa di luar negeri.


Sumber: http://health.kompas.com/read/2013/03/15/09473538/Saat.Cinta.Berubah.Menjadi.Benci

Thursday, February 28, 2013

Kampus Bukan Hotel Singgah


Dunia pendidikan sering mendapatkan tuduhan tidak menghadirkan realitas kehidupan, sehingga para lulusannya menjadi ‘mati gaya’ ketika saatnya turun gunung. Perguruan tinggi sering pula mendapatkan label ‘menara gading’. Kalimat ini menggambarkan jauhnya realitas di kampus dengan realitas kehidupan di luar kampus. Pengalaman sebagai pengajar di dua kampus swasta Jakarta memberi saya pemahaman yang sedikit ‘berbeda’ dan memperlihatkan hal lain dari label di atas. Label yang kemudian terasa menjadi ‘excuse’masyarakat Indonesia, menguak isu kebiasaan kalau bukan disebut ‘budaya’ kita yang lebih krusial.

‘Apa ada yang kita pelajari di kelas yang digunakan sehari-hari?’ Apakah mempelajari filsafat ada manfaatnya di pekerjaan? Apakah dalam interview kerja akan ditanyakan pemikiran Socrates? Apakah teori dan jurnal sains itu dapat digunakan kelak ketika bernegosiasi dengan klien atau menarik konsumen? Masih banyak gurauan dan pernyataan sinis sekaligus miris yang akrab di percakapan sehari-hari. Kita bisa menemui di kantin kampus hingga perkantoran. Jawabannya tentu : tidak ada.

Kampus adalah realitas
Lebih dari sekali dua kali saya mendapatkan pertanyaan dengan wajah ‘memelas’, “Haruskah menggunakan textbook?” Mereka nampak kecewa mengetahui ‘pelarangan’ Om Google sebagai ‘handbook’  mata kuliah.  Banyak mahasiswa juga yang masih keliru menganggap mesin pencari ini sebagai ‘referensi’. Padahal telah banyak penerbit Indonesia yang menerjemahkan textbook sehingga jauh lebih terjangkau dan lebih mudah ditemukan dibandingkan sepuluh tahun yang lalu.

Menggunakan di sini juga bermakna variatif, mulai dari membeli, mengkopi beberapa bagian hingga meminjam di perpustakaan atau teman (kakak tingkat). Hingga saya pernah mengajak mahasiswa untuk mengingat scene-scene dalam film Hollywood yang terkesan ‘hura-hura’. Dalam adegan sekolah atau kampus, mahasiswa atau siswa dengan warna-warni penampilan (dari funky – sexy) tetap menenteng bertumpuk buku di tangannya.

Jika melukiskan ekspresi mahasiswa dengan kartun, ada satu bubble sama di atas kepala mereka, “Kuliah tidak sama dengan kerja kelak”; “Ini hanya teori”, dsb. Citra ini yang sedikit banyak menjadi dorongan negatif untuk kurang atau tidak bersungguh-sungguh menjalani kehidupan kampus. Padahal, kampus bagi mahasiswa adalah dunia riil, sangat riil yang bisa menempati porsi utama pada masa perkembangan kognitif mereka saat itu.

Kampus adalah miniatur kehidupan yang memberikan kesempatan mahasiswa untuk mengasah ketrampilan akademik, interaksi sosial bahkan entrepreneurship. Soft skill utama seorang lulusan perguruan tinggi adalah ketrampilan menganalisa, menyusun logika, komunikasi aktif, kerjasama, bahkan kepemimpinan. ‘Berdialog’ dengan para ilmuan dari penjuru dunia melalui teori-teori mereka adalah salah satu media mengasah mind. Membaca textbook, membahas isu praktis dengan analisa teoretik adalah hal riil untuk membentuk ketrampilan analisa logika.

Apresiasi terhadap nilai tinggi adalah apresiasi pada usaha selama kehidupan riil di tahap tersebut, yakni belajar. Dalam proses seleksi seperti metode assessment center, pewawancara akan melakukan pendalaman konfirmatif – klarifikatif terhadap nilai-nilai tersebut. Bagian ini yang sering luput dari pelamar kerja fresh-graduate sehingga tidak sedikit yang terkaget apalagi mereka yang sebenarnya tidak terlalu sungguh-sungguh menjalani pendidikan. Sebagian besar masyarakat (mahasiswa yang lulus beserta keluarganya) dengan cepat menyimpulkan untuk ucap ‘perpisahan’ tegas dengan dunia pendidikan. Layaknya memutus jembatan di belakang dan menatap kehidupan baru yang sama sekali tidak ada hubungannya.

Mindset Pendidik & Kampus
Ada excuse lain yang saya tangkap baik kampus secara institusi maupun para pendidik. Beberapa pemakluman yang sepertinya tampak ‘baik’ untuk mahasiswa yang secara implisit terkandung dalam pandangan; “Mahasiswa semester awal, yah.. masih seperti SMA lah, maunya disuapi, masih susah untuk membaca, terlebih textbook.” Atau, “Ini kan bukan mahasiswa psikologi (untuk mahasiswa non-psikologi), jadi tidak wajib memiliki textbook lah..”  Saya yakin, hal ini juga ditemui oleh dosen lain ketika mengajar di kelas non disiplin utamanya.

Pandangan ini sebenarnya konsisten dengan keluhan rendahnya kemampuan membaca di Indonesia. Sebagian pendidik pun memperlakukan sumber ilmu secara praktis, hanya karena bukan disiplin utamanya, maka tidak perlu membaca handbook-nya. Pada sisi lain, mahasiswa menjadi melihat ‘kurang signifikannya’ sumber bacaan dalam mata kuliah tersebut. Makna lainnya, adalah dosen masih diminta untuk menjadi audiobook. Pada saat yang sama, pembelajaran mandiri sedang digalakkan di mana posisi dosen lebih untuk pengantar dan berdiskusi. Seharusnya pendidik memberikan kepercayaan pada mahasiswa tingkat bawah untuk membedah isi buku dan berdiskusi lebih lanjut di kelas maupun luar kelas. Implementasi dari memberi kepercayaan di sini adalah ‘mendorong’ bahkan ‘memaksa’ mereka untuk mempelajari buku-buku utama, bukan sekedar copy-paste untuk tugas essay.

Ada hal lain yang masih perlu dikaji, namun memberikan satu pertanyaan di benak saya tentang hebohnya ujian nasional di negeri ini. Selain ketrampilan membaca di atas, ada strategi belajar lain yang nampaknya masih asing bagi mahasiswa yakni teamwork. Ketika diminta membentuk kelompok-kelompok kecil di kelas untuk menjawab sekian soal menggunakan textbook, sebagian besar nampak panik melihat banyaknya soal dan waktu yang tersedia. Tugas ini menjadi sangat menekan dan tidak realistis. Pada akhirnya mereka perlu diingatkan bahwa mereka adalah tim yang terdiri dari beberapa orang. Pola kerjasama satu soal dikeroyok lima orang tentu akan memakan waktu satu hari untuk menyelesaikan lima soal, bukan 25 menit. Kecuali mereka semua telah membaca materi kuliah sebelum masuk kelas.

Pola kerjasama tim dengan pembagian tugas dan delegasi yang tampaknya ‘asing’ ini menjadi paradoks dengan budaya kolektif kita. Tidak heran jika siswa dan sekolah menjadi sangat tertekan dengan materi ujian nasional, jika strategi belajarnya masih konvensional. Saya tidak berani menggeneralisir semua sekolah di Indonesia, namun kecurigaan ini yang perlu dikaji kembali. Pertanyaan yang lebih dalam, apa pemahaman kerja tim di kalangan siswa – mahasiswa kita? Apakah satu pemimpin dan sisanya pengikut pasif? Apakah ini yang membuat mahasiswa enggan menjadi pemimpin atau koordinator kelas karena ia lah yang harus bekerja keras, sementara yang lain tinggal terima beres?

Pendelegasian materi untuk kemudian masing-masing memberikan presentasi menjadi salah satu alternatif belajar yang efektif. Salah satu kompetensi dasar dalam seleksi kerja pada freshgraduate adalah problem solving  dan planning organizing. Bagaimana individu mampu mengidentifikasi masalah, membuat prioritas dan mengoptimalkan sumber daya yang ada (rekan kerja – materi kerja). Ini seharusnya menjadi kompetensi dasar yang dimiliki mereka yang menyandang title sarjana.

Ketrampilan lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah menulis dan presentasi. Hampir semua pekerjaan menuntut adanya laporan tertulis, komunikasi tertulis baik yang terkonsep atau langsung seperti membalas e-mail rekanan/ klien dalam kerjasama proyek yang intensif. Hanya penguasaan materi lah yang membuat seorang mahasiswa bisa lebih mengembangkan ketrampilan presentasinya di kelas. Materi kuliah adalah realitas, se-realitas- proposal kerjasama sebuah perusahaan kelak di dunia kerja.

Berbagai mozaik ini seluruhnya berseru “Kampus adalah realitas, bukan mimpi atau hotel singgah.”

Oleh : RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi.

Sumber: http://www.e-psikologi.com/epsi/pendidikan.asp

Thursday, February 21, 2013

Bahaya Facebook untuk Remaja


Begitu diperkenalkan ke publik, situs jejaring sosial Facebook langsung menjerat hati jutaan penggemarnya. Media sosial ini dicintai karena memungkinkan seseorang berhubungan kembali dengan teman lama dari sekolah atau perguruan tinggi tanpa harus bertemu muka.

Namun penggunaan Facebook yang intens memiliki konsekuensi, terutama bagi remaja. Larry Rosen, psikolog di Cal State Dominguez Hills, yang telah mempelajari dampak teknologi terhadap manusia selama lebih dari 25 tahun mengungkapkan situs jejaring sosial seperti ini berdampak buruk untuk anak dan remaja.

Ia mengungkapkan temuannya dalam pertemuan tahunan American Psychological Association. Menurutnya, remaja yang sering menggunakan teknologi seperti video game atau internet, cenderung lebih mengeluhkan nyeri perut, gangguan tidur, kecemasan dan depresi. Mereka juga dilaporkan sering bolos sekolah.

Selain itu remaja dan orang dewasa muda yang sering login ke Facebook lebih narsis. "Situs jejaring sosial membuat seseorang lebih narsis karena bisa mengiklankan dirinya sendiri 24 jam 7 hari seminggu menurut keinginan pribadi," kata Rosen.

Di antara pengguna dari segala usia, Rosen menilai makin banyak orang menggunakan Facebook, makin besar kemungkinan mereka memiliki gangguan kepribadian antisosial, paranoia, kecemasan dan penggunaan alkohol.

Ketika Rosen dan timmnya mengamati siswa SMP, SMA dan mahasiswa yang sedang belajar untuk ujian selama 15 menit, mereka menemukan bahwa kebanyakan siswa hanya bisa fokus selama dua sampai tiga menit sebelum mengalihkan perhatian mereka untuk hal-hal yang kurang ilmiah, seperti teks pesan atau fitur media sosial di ponsel. Tidak mengherankan siswa yang sebentar-sebentar memeriksa akun Facebook sambil belajar mendapatkan hasil yang buruk saat ujian.

Orang tua juga harus menangani bentuk lain dari jejaring sosial, seperti mengirim dan menerima pesan teks (SMS). Remaja rata-rata mengirimkan lebih dari 2.000 teks per bulan. Ini adalah jumlah besar yang bukan cuma memicu masalah tidur dan konsentrasi, tetapi juga stres fisik.

Rosen menunjukkan contoh seorang remaja di Chicago yang menderita sindrom carpal tunnel dan memerlukan obat pereda nyeri dan perban pada pergelangan tangan setelah mengirim lebih dari 100 teks perhari.

"Anak-anak dibesarkan pada konsep koneksi. Bagi mereka bukan kualitas yang penting, tetapi hubungan itu sendiri. Telepon atau bertemu tatap muka hanya  memungkinkan jumlah minimum koneksi, sementara alat-alat lain memungkinkan mereka untuk terhubung ke dunia," kata Rosen.

Meski Facebook juga memiliki banyak sisi positif, tetapi Rosen menyarankan agar orangtua perlu memberi pemahaman pada anak mereka mengenai cara berperilaku secara online. Hal ini bisa mendorong anak untuk menyadari apa yang boleh dan dilarang ketika menggunakan internet.

Ia menambahkan, media sosial jika digunakan secara tepat bisa membantu anak berperilaku empati dan berinteraksi dengan teman-temannya tanpa harus mengkhawatirkan reaksi orang secara langsung. "Untuk anak-anak pemalu ini akan menjadi nilai tambah dan membantu mereka keluar dari cangkangnya," katanya.

Tetapi ada satu hal penting yang kerap dilupakan orangtua, yakni Facebook sebenarnya ditujukan untuk orang dewasa, bukan anak-anak. "Berbeda dengan bullying di sekolah, bullying yang terjadi di internet bisa terjadi setiap saat," katanya.

Sumber: www.latimes.com

Musik Metal Pengaruhi Mental Remaja


Musik beraliran heavy metal merupakan jenis musik yang digandrungi remaja. Namun, para peneliti mengingatkan bahwa penggemar musik ini lebih berisiko menderita depresi, bahkan bunuh diri.

Katrina McFerran, dari Melbourne University, Australia, yang melakukan penelitian selama 5 tahun mengenai pengaruh musik pada kondisi mental remaja, menemukan bahwa musik heavy metal menyebabkan gangguan mental pada remaja usia 13-18 tahun.

"Kebanyakan remaja mendengarkan musik untuk tujuan positif, seperti memperbaiki mood atau menambah energi ketika berolahraga. Tetapi, remaja yang berisiko depresi cenderung mendengarkan musik, terutama musik heavy metal, untuk tujuan negatif," kata McFerran.

Ia menambahkan, pengaruh musik bergenre rap, rock, atau pop terhadap kondisi mental remaja ternyata berbeda dengan musik heavy metal.

"Remaja mendengarkan musik heavy metal karena itu menjadi pelarian dari realitas. Mereka juga menemukan musik-musik itu merefleksikan penderitaan mereka sehingga mereka tidak merasa kesepian lagi," katanya.

Kendati begitu, ada juga remaja yang mengatakan mood mereka justru membaik setelah mendengarkan musik metal. "Orangtua dan sekolah bisa melakukan intervensi untuk mencegah gangguan mental yang mungkin dialami remaja," katanya.

Selain itu, ia juga menyarankan agar orangtua membuka komunikasi dengan anak mereka. "Tanyakan perasaan mereka setelah mendengarkan musik heavy metal. Jika anak mengatakan mereka bertambah down, sebaiknya larang anak mendengarkan musik ini," katanya.

Sumber: www.foxnews.com

Saturday, February 16, 2013

Stres Pekerjaan Tak Memicu Kanker


Stres kronik memang dianggap sebagai salah satu faktor pemicu kanker. Namun menurut studi terbaru stres pekerjaan tidak termasuk diantaranya.

Sebuah tim peneliti internasional baru-baru ini mempublikasikan hasil penelitian mereka mengenai kaitan antara stres pekerjaan dengan kanker. Ternyata stres pekerjaan bukan faktor risiko kanker.

"Meski mengurangi stres yang ditimbulkan pekerjaan bisa meningkatkan kesehatan fisik dan psikologi para pekerja, tetapi perlu ditegaskan stres pekerjaan tidak berdampak pada timbulnya kanker," kata Katriina Heikkila dari Finnish Institute of Occupational Health.

Hasil penelitian yang dilakukan Heikkila dan timnya ini bisa membuat para pekerja lebih tenang. Namun stres sendiri diketahui bisa menyebabkan depresi.

"Kita tahu kalau stres akan berpengaruh pada reaksi tubuh dan meningkatkan inflamasi yang dikaitkan dengan risiko kanker. Dengan studi ini sepertinya tidak alasan untuk takut," kata Dr.Lidia Schapira dari Harvard Medical School, mengomentari penelitian tersebut.

Penelitian Heikkila itu dilakukan dengan mengumpulkan data 116.000 pria dan wanita berusia 17-70 tahun dari Finlandia, Perancis, Belanda, Swedia, Denmark dan Inggris. Para responden sudah mengikuti 1 dari 12 studi mengenai level stres dalam pekerjaan mereka. Penelitian semacam itu disebut juga dengan analisis meta.

Para peneliti mengelompokkan berbagai jenis stres pekerjaan disesuaikan dengan tingginya tuntutan pekerjaan dan kendali para responden atas pekerjaannya.

Secara umum, para peneliti tidak menemukan peningkatan risiko kanker pada orang yang tertekan oleh pekerjaannya.

Meski begitu penelitian jenis analisis meta semacam itu memiliki kelemahan, antara lain para peneliti hanya melihat hasil akhir atau kesimpulan dari beberapa penelitian tanpa memperhitungkan akar masalah yang diteliti.

Sumber: Everyday Health

Sunday, December 30, 2012

Kemampuan Berbahasa Pengaruhi Emosi Anak


Kemampuan balita dalam menggunakan kata-kata ternyata dapat mempengaruhi cara mereka dalam mengelola kemarahan di kemudian hari. Demikian menurut sebuah studi baru yang dimuat dalam jurnal Child Development.

Menurut penelitian ini, anak-anak dengan kemampuan bahasa yang baik pada usia 2 tahun dapat mengekspresikan kemarahannya lebih baik pada usia 4 tahun, daripada anak-anak yang sebelumnya tidak memiliki kemampuan bahasa yang baik.

Selain itu, anak-anak yang mengembangkan kemampuan bahasanya lebih cepat maka akan memiliki tingkat kemarahan yang lebih rendah pada usia 4 tahun. Hasil penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa ada hubungan antara kemampuan berbahasa dengan ekspresi kemarahan dari anak-anak.

Penelitian baru ini mempelajari 120 anak-anak dari usia 18 bulan hingga 4 tahun. Anak-anak secara berkala menjalani tes untuk dinilai keterampilan bahasa dan kemampuan mereka untuk mengatasi tugas-tugas yang membuat frustasi. Salah satu tugasnya itu anak-anak diminta untuk menunggu selama delapan menit sebelum membuka hadiah sementara ibu mereka selesai bekerja.

Kemampuan berbahasa yang baik setidaknya dapat membantu  anak mengendalikan emosinya dalam dua aspek . Yang pertama kemampuan berbahasa yang baik memungkinkan mereka untuk meminta dukungan pada orang tua mereka saat menghadapi situasi frustasi, misalnya dengan menanyakan pada ibu mereka sudahkah selesai dengan pekerjaannya. Yang kedua, kemampuan berbahasa yang baik juga dapat mengalihkan mereka dari situasi frustasi, seperti berbicara pada diri mereka sendiri.

"Kemampuan berbahasa yang lebih baik dapat membantu anak-anak untuk melakukan verbalisasi daripada menggunakan emosi untuk menyampaikan kebutuhan. Selain itu, kemampuan berbahasa yang baik juga memungkinkan anak untuk menggunakan imajinasi mereka untuk menyibukkan diri sementara bertahan menunggu frustasi," kata peneliti Pamela Cole, seorang profesor psikologi di Pennsylvania State University.

Sumber: www.myhealthnewsdaily.com

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites