English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Wednesday, February 8, 2012

Orang Tua Sering Rusak Mental Anak akibat Salah Asuh


Perkembangan kecerdasan dan mental seorang anak atau IQ/EQ sering dirusak para orangtua karena cara mengasuh, membimbing, serta membina anak pada "usia keemasan" (nol sampai enam tahun) dengan cara yang salah, yakni sekadar bicara bukan dengan sikap/teladan.
    
Pesan moral itu disampaikan Ria Enes bersama boneka Susan saat menghibur sekitar seribu anak dalam acara Kumpul Seribu Bocah yang digelar oleh Dinas Pendidikan Kaltim dalam rangkaian peringatan Hardiknas di Stadion Madya Sempaja.

"Menurut para ahli, usia menyerap anak pada ’usia keemasan’, yakni sampai enam tahun mencapai 70-80 persen, yang efektif dibina dengan cara sikap atau teladan orangtua, bukan hanya sekadar perintah atau bicara, jadi ibu-ibu jangan merusak kecerdasan dan mental anak kita akibat kesalahan kita sendiri," kata Ria Enes.

"Kalau kita perintahkan anak belajar, sementara orangtuanya nonton TV, pasti anak tetap ikut nonton TV. Kalaupun kita paksa anak belajar, kemungkinan besar anak akan menangis, ya Susan ya!" kata Ria menatap "Susan", boneka lucu yang dipegang di tangan kanannya.

Sementara itu "Susan" mengiyakan apa yang dikatakan Ria. Bahkan, Susan juga mengatakan jika orangtua menyuruh belajar, maka orangtua juga harus memberi contoh belajar agar anak mau mengikutinya. 

"Kalau ibu menyuruh saya belajar, ibu juga harus belajar, jadi kita sama-sama belajar," kata Susan, sang boneka yang disambut tawa ibu-ibu dan bocah yang terlihat kagum melihat pertunjukan suara perut itu.

Ia menambahkan bahwa anak-anak butuh keteladanan dan contoh sikap tersebut bagi seorang anak akan tertanam kuat dalam benaknya sampai mereka dewasa nanti.

"Jika sejak kecil anak sudah terbiasa melihat orangtuanya berbuat apa saja, baik itu shalat dan mengaji, maka hal itu akan mereka ingat terus. Namun, apabila ayah dan ibunya sering berkelahi, maka kebiasaan orangtua akan terekam pula dan bisa terbawa menjadi sikap keras mereka saat dewasa," kata Ria melalui sang boneka Susan.

Ria yang juga menghibur lewat gaya mendongeng dan menyanyi menyampaikan cara mendidik anak agar tidak ada unsur paksaan dan kekerasan, baik kekerasan secara lisan, maupun kekerasan secara fisik.
   
Pasalnya, hal itu justru bisa memengaruhi pelambatan daya pikir, kreativitas, dan mental atauintelligent quatients dan emotional quotients (IQ/EQ) si anak.
    
Sementara itu, panitia Kumpul Seribu Bocah, Sutikno, yang juga salah seorang Kasi di Disdik Kaltim, mengatakan bahwa salah satu tujuan dilakukan acara tersebut adalah, selain memberikan penyegaran terhadap anak tentang hiburan yang dibawakan oleh Ria Enes, juga memberikan tambahan ilmu kepada orangtua yang mengantar anaknya.
    
"Cara mendongeng dan menyanyi lebih cepat mereka terima, baik bagi anak-anak, maupun para orangtua yang hadir pada acara ini. Dalam rangkaian peringatan Hardiknas ini kita ingin mengisinya dengan hal yang benar-benar bermanfaat bagi dunia pendidikan, yakni melalui pesan moral ini, bukan sekadar hura-hura," imbuh dia.
    
Ia menjelaskan bahwa pendidikan di sekolah sifatnya hanya dukungan bagi perkembangan anak, tetapi mempersiapkan generasi muda, yang menjadi aset bangsa itu, berawal dari rumah atau kehidupan keluarganya.
    
"Ketika memasuki dunia sekolah di SD, usia keemasan anak itu sudah lewat karena masuk sekolah, batas usia sudah tujuh tahun," papar dia.
     
Sebagai "orang pendidikan", ia juga mengharapkan agar cara mendidik anak melalui dongeng sebelum tidur sebenarnya cara sangat tepat selain melalui sikap/teladan orangtua.
     
"Misalnya, kita akan menceritakan tokoh-tokoh yang bijaksana, berbudi, serta orang-orang jahat. Jadi, pesan moral yang kita sampaikan di dalam dongeng termasuk cara pendidikan yang tepat. Namun, dengan perkembangan sekarang, anak kita manjakan dengan menonton TV dan game," kata dia.
    
Pihaknya berjanji bahwa, dalam peringatan Hardiknas di tahun-tahun yang akan datang, mereka terus mengisinya dengan berbagai acara yang benar-benar bermanfaat bagi dunia pendidikan, bukan sekadar acara seremonial dan hura-hura.

Three Reasons Why Children Need to Play


It is the right of children play. Unfortunately the level of play of children in Indonesia is very low. Though playing to benefit the children.

According to child psychologist Ruth Andjayani Ibrahim, there are three reasons whychildren should have the opportunity to play a fun.

First, by playing the child will grow into an adult human being whole, healthy and happy life. Second, without an element of fun to play and move, the child will grow into adults who are less assertive, stress, and neurotic. And third, at extreme levels,tension and stress can trigger disorders, including mental disorders.

Needs of children aged 2-13 years are playing. "Then let them play, do not beforced to learn these lessons and tutoring or that. If you want to teach (lesson) cannot play," said Ruth.

Tuesday, February 7, 2012

Sejak Dini, Kenalkan Bahaya Narkoba!


Dokter yang juga artis, Lula Kamal, mengatakan, pengenalan akan bahaya narkoba harus dilakukan sejak dini sebagai upaya mengantisipasi penyalahgunaan obat-obatan tersebut.
    
"Sampai kini tren penyalahgunaan narkoba terus meningkat sehingga sosialisasi bahaya narkoba harus terus dilakukan," katanya ketika menjadi pembicara pada sosialisasi anti narkoba bagi karyawan BUMN/BUMD di Palembang.

Menurut dia, sosialisasi tentang bahaya narkoba dan pengenalan produk obat-obatan terlarang tersebut menjadi langkah penting untuk mengantisipasi berkembangnya penggunaan narkoba. Karena sampai kini meningkatnya penggunaan narkoba tersebut banyak disebabkan akibat ketidakmengertian pengguna.

Ia mengatakan, penyalahgunaan narkoba harus diantisipasi sedini mungkin, sehingga ’kita’ mampu menyelamatkan generasi penerus dari bahaya obat-obatan yang membahayakan tersebut.

"Apalagi negara kita terkenal jago dalam memproduksi ganja yang merupakan salah satu jenis candu yang membahayakan," katanya.

Dia menjelaskan, perkembangan penyalahgunaan narkoba di negeri ini sangat cepat, terbukti dalam beberapa waktu tidak hanya peredaran yang berhasil diungkap, tetapi pabrik yang memproduksi ekstasi skala besar pun terungkap.

"Baru-baru ini heroin murni dari Afrika juga masuk ke negara kita, dan ini membuktikan peredaran barang haram tersebut semakin bebas menyerang bangsa ini," ujarnya.

Sementara itu, sampai kini BNN mencatat korban tewas akibat penyalahgunaan obat mencapai 40 orang per hari atau 15 ribu per tahun.

Pengguna narkoba tidak hanya dari kelas menengah, tetapi telah menyerang semua lapisan masyarakat di negeri ini.


Sumber: health.kompas.com

Terjadi Pembiaran terhadap Penderita Gangguan Jiwa


Di Indonesia hanya 3,5 persen penderita gangguan jiwa berat yang mendapatkan terapi oleh petugas kesehatan. Artinya 96,5 persen di antaranya tidak mendapatkan pengobatan yang semestinya. Tindakan pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah ters ebut dinilai melanggar hak asasi manusia para penderita gangguan jiwa.

"96,5 persen penderita yang tidak mendapat pengobatan itu umumnya dikurung, dipasung, atau menggelandang," kata Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Yeni Rosa Damayanti.

Rombongan Perhimpunan Jiwa Sehat tersebut diterima oleh Ketua Komnas HAM Joni Simanjuntak dan Stanley Prasetyo Adi dari Sub Komisi Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM.  

"Ada empat soal yang perlu didalami oleh Komnas HAM: tumpang tindih soal kewenan gan, perlakuan medis, perhatian pemerintah, dan ketersediaan tenaga ahli atau dokter untuk menangani penderita gangguan jiwa," kata Joni Simanjuntak.  

Hasil investigasi Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial DKI Jakarta didapat data jumlah Warga Binaan Sosial (WBS) atau pasien yang meninggal dunia di Panti Cengkareng sejak 2007-Mei 2009 sebanyak 253 pasien, Panti Cipayung sebanyak 70 orang, Panti Ceger sebanyak 7 orang, Panti Daan Mogot sebanyak 15 orang, dan di Rumah Sakit Duren Sawit sebanyak 172 pasien. Jadi total WBS atau pasien yang meninggal di lima tempat tersebut sejak tahun 2007-Mei 2009 sebanyak 517 pasien.

Penyebab WBS/pasien tersebut meninggal antara lain karena malnutrisi (kurang gizi). Anggaran untuk konsumsi hanya Rp 15.000 per orang per hari, diare, anemia, dan pada waktu masuk panti WBS hasil razia telah menderita berbagai penyakit fisik (sakit kulit, TBC, anemia, dan lain-lain).  

Banyaknya WBS atau pasien di panti-panti tersebut yang meninggal tersebut menunjukkan tidak adanya perhatian pemerint ah terhadap penderita gangguan jiwa. Alokasi anggaran hanya 1,5 persen dari keseluruhan anggaran kesehatan di APBN.

Hervita Diatri, psikiater dari Psikiatri Universitas Indonesia yang bertugas paruh waktu ke panti mengatakan, banyak pasien yang tidak mendapatkan lanyanan meski sudah banyak mobile clinic. Kondisi di panti pun memprihatinkan, seperti tidak ada yang mengawasi WBS makan atau tidak, WBS yang gaduh gelisah dicampur dengan yang tenang, panti kekurangan tenaga yang mampu menangani WBS, bahkan ada kepala panti yang merupakan pekerja sosial yang sama sekali tidak tahu soal kesehatan jiwa.

Budiana Keliat PhD dari Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia menyatakan, tenaga perawat untuk mengurus para penderita gangguan jiwa di panti-panti juga masih sangat kurang.  

"Dua atau tiga perawat harus mengurus 600 pasien itu tentu tugas yang sangat berat," kata Budianan Keliat.
Mengapa pemerintah tidak memberikan perhatian pada penderita gangguan jiwa, menurut psikiater dr Pandu Setiawan SpKJ, dari sudut pandang kesejarahan isu kesehatan dianggap tidak penting jika tidak mengarah kepada kematian.

"Jadi gangguan jiwa tidak dianggap penting karena tidak menyebabkan kematian, tapi terbukti sekarang justru gangguan jiwa menjadi beban yang lebih berat dibandingkan penyakit jantung, atau penyakit lainnya," kata Pandu Setiawan.

Selain persoalan gangguan jiwa berat, yang harus juga mendapatkan perhatian adalah 18,6 juta penduduk Indonesia (11.6 persen) yang berusia di atas 15 tahun mengalami masa lah mental emosional (di luar gangguan jiwa berat). Di DKI Jakarta saja jumlah orang yang mengalami masalah mental emosional di atas rata-rata nasional yaitu 14,1 persen atau 1.275.000 penduduk Jakarta yang berusia di atas 15 tahun.

Ciptakan Lingkungan Sehat demi Tumbuh Kembang Anak


Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Inggris Yuri Thamrin mengharapkan orangtua harus dapat menciptakan lingkungan yang sehat dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak.

Hal itu disampaikan Dubes dalam sambutannya pada seminar Parenting yang digelar Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Inggris, di Universitas Birkbeck London.

Dikatakannya, orangtua tentu menginginkan anak-anaknya bisa berhasil. Untuk itu, anak harus memiliki lingkungan yang sehat, yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak.

"Berbagai penelitian menunjukkan ketika orangtua terlibat secara maksimal, anak mendapatkan hasil ujian yang lebih baik,” jelas Thamrin. 

Menurut Dubes, tidak hanya itu, anak akan memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk mengonsumsi narkoba atau minuman keras.

Sementara itu, Ketua PKS Inggris Dr Ali Sophian mengatakan, seminar ini adalah salah satu bentuk kepedulian PKS terhadap pentingnya peran orangtua dalam perkembangan dan pendidikan anak. 

Di tangan generasi mendatang, nasib bangsa akan ditentukan. Beberapa waktu lalu PKS Inggris mengadakan kegiatan serupa, dan mereka mengharapkan bahwa acara-acara semacam itu akan dapat terlaksana di masa mendatang. 
 
Pembicara dalam seminar yang digelar untuk menandai Hari Perempuan Internasional adalah Carol Barham dan Ida Rosida, konsultan dan praktisi pendidikan anak.

Menurut Barham, mungkin anak tidak mau tidur ketika memintanya ditidurkan, dan tetap saja main di kamarnya, atau mungkin merengek ingin tidur di kamar bersama-sama.  

Dalam keadaan seperti ini, sebagian besar orangtua akan marah dan langsung memerintahkan anak untuk kembali ke kamar dan tidur.

Bila keadaan seperti ini berlangsung hampir setiap malam, orangtua harus introspeksi. ”Orangtua harus bertanya, apakah waktu yang diberikan kepada anak dalam sehari, misalnya, sudah cukup,” ujar Barham. 

Masalah-masalah seperti ini bisa diatasi dengan menambah waktu yang dihabiskan bersama anak. Misalnya dengan bermain bersama atau membacakan buku. ”Kalau orangtua sibuk seharian, membacakan buku 10 atau 15 menit mungkin sudah cukup buat anak,” kata Barham. 

Dia mengatakan, waktu selama 15 menit yang khusus dihabiskan bersama anak akan jauh lebih berarti dibandingkan dengan uang lima pound.

Dalam sesi diskusi, peserta banyak bertanya tentang berbagai masalah yang dihadapi dalam membesarkan anak. 

Selain Barham dan Rosida, pembicara lainnya adalah Dian Hendra, guru matematika di satu sekolah menengah di London yang banyak memberi masukan dan saran-saran praktis mendidik anak dalam lingkungan yang berbeda di Tanah Air.


Sumber: Ant

Sunday, February 5, 2012

Pengertian Psikologi Perkembangan


Psikologi perkembangan adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku individu dalam perkembangannya dan latar belakang yang mempengaruhinya. Dalam ruang lingkup psikologi, ilmu ini termasuk psikologi khusus, karena psikologi perkembangan mempelajari kekhususan dari pada tingkah laku individu.

Ada beberapa manfaat mempelajari Psikologi Perkembangan, diantaranya yaitu: 1) Untuk mengetahui tingkah laku individu itu sesuai atau tidak dengan tingkat usia/ perkembangannya. 2) Untuk mengetahui tingkat pemampuan individu pada setiap fase perkembangannya  3)Untuk mengetahui kapan individu bisa diberi stimulus pada tingkat perkembangan tertentu. 4) Agar dapat mempersiapkan diri dalam menghadapi perubahan-perubahan yang akan dihadapi anak. 5)Khusus bagi guru, agar dapat memilih dan memberikan materi dan metode yang sesuai dengan kebutuhan anak.

Pengertian Psikologi Perkembangan 
Menurut beberapa para ahli, ada beberapa fase atau periodisasi psikologi perkembangan individu, yaitu:

1.  Periodisasi yang berdasar biologis.
Periodisasi atau pembagian masa-masa perkembangan ini didasarkan kepada keadaan atau proses biologis tertentu. Pembagian Aristoteles didasarkan atas gejala pertumbuhan jasmani yaitu antara fase satu dan fase kedua dibatasi oleh pergantian gigi, antara fase kedua dengan fase ketiga ditandai dengan mulai bekerjanya kelenjar kelengkapan kelamin. Fase-fase tersebut yaitu a) Fase anak kecil : 0 – t th, b) Fase anak sekolah: 7 – 14 th yaitu masa mulai bekerjanya kelenjar kelengkapan kelamin, dan c) Fase remaja : 14 – 21 th

2.  Periodisasi yang berdasar psikologis.
Tokoh utama yang mendasarkan periodisasi ini kepada keadaan psikologis adalah Oswald Kroch. Beliau menjadikan masa-masa kegoncangan sebagai dasar pembagian masa-masa psikologi perkembangan, karena beliau yakin bahwa masa kegoncangan inilah yang merupakan keadaan psikologis yang khas dan dialami oleh setiap anak dalam masa perkembangannya. Fase-fase tersebut yaitu: a) Dari lahir sampai masa “trotz” (kegoncangan) pertama: kanak-kanak awal. b) Trotz pertama sampai trotz kedua : masa keserasia bersekolah. c) Trotz kedua sampai akhir remaja: masa kematangan

3.  Periodisasi yang berdasar didaktis.
Pembagian masa-masa perkembangan sekarang ini seperti yang dikemukakan oleh Harvey A. Tilker, PhD dalam “Developmental Psycology to day”(1975) dan Elizabeth B. Hurlock dalam “Developmental Psycology”(1980) tampak sudah lengkap mencakup sepanjang hidup manusia sesuai dengan hakikat perkembangan manusia yang berlangsung sejak konsepsi sampai mati dengan pembagian periodisasinya.
Berikut periodisasi berdasarkan didaktis menurut Elizabeth B. Hurlock :
  • Masa sebelum lahir (pranatal): 9 bulan
  • Masa bayi baru lahir (new born): 0-2 minggu
  • Masa bayi (babyhood): 2 minggu- 2 th
  • Masa kanak-kanak awal (early childhood):2-6 th
  • Masa kanak-kanak akhir (later chilhood): 6-12 th
  • Masa puber (puberty) 11/12 – 15/16 th
  • Masa remaja ( adolesence) : 15/16 – 21 th
  • Masa dewasa awal (early adulthood) : 21-40 th
  • Masa dewasa madya(middle adulthood): 40-60 th
  • Masa usia lanjut (later adulthood) : 60-…..

Pengertian Psikologi Pendidikan


Psikologi Pendidikan adalah ilmu yang mempelajari bagaimana manusia belajar dalam pendidikan pengaturan, efektivitas intervensi pendidikan, psikologi pengajaran, dan psikologi sosial dari sekolah sebagai organisasi. Psikologi pendidikan berkaitan dengan bagaimana siswa belajar dan berkembang, dan sering terfokus pada sub kelompok seperti berbakat anak-anak dan mereka yang tunduk pada khusus penyandang cacat.

Menurut Muhibin Syah (2002), pengertian psikologi pendidikan adalah sebuah disiplin psikologi yang menyelidiki masalah psikologis yang terjadi dalam dunia pendidikan. Sedangkan menurut  ensiklopedia amerika, Pengertian psikologi pendidikan adalah ilmu yang lebih berprinsip dalam proses pengajaran yang terlibat dengan penemuan-penemuan dan menerapkan prinsip-prinsip dan cara untuk meningkatkan keefisien di dalam pendidikan.

Pengertian Psikologi Pendidikan
Sedangkan menurut  Witherington, Pengertian Psikologi pendidikan adalah  studi sistematis tentang proses-proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan manusia.

Tardif (dalam Syah, 1997: 13) juga mengatakan bahwa Pengertian Psikologi Pendidikan adalah sebuah bidang studi yang berhubungan dengan penerapan pengetahuan tentang perilaku manusia untuk usaha-usaha kependidikan.

Dari beberapa pendapat tentang psikologi pendidikan, kami mengambil kesimpulan bahwa Pengertian Psikologi Pendidikan adalah ilmu yang mempelajari  tentang perilaku manusia di dalam dunia pendidikan yang meliputi  studi sistematis tentang proses-proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan manusia yang tujuannya untuk mengembangkan dan meningkatkan keefisien di dalam pendidikan.

Pengertian Psikologi Klinis


Pengertian 
Psikologi Klinis merupakan bentuk psikologi terapan untuk menentukan kapasitas dan karakteristik tingkah laku individu dengan menggunakan metode-metode pengukuran assessment, analisa dan observasi serta uji fisik dan riwayat sosial agar dapat diperoleh saran dan rekomendasi untuk membantu penyesuaian diri individu secara tepat. (American Psychological Association: 1935).

Witmer (1912) dikutip oleh Sutardjo menyatakan bahwa psikologi klinis adalah metode yang digunakan untuk mengubah atau mengembangkan jiwa seseorang berdasarkan hasil observasi dan eksperimen dengan menggunakan teknik penanganan pedagogis. Namun, Woodworth (1937) berkeberatan dengan definisi atau pengertian psikologi klinis yang disampaikan Witmer ini. Menurutnya, jika pengertian psikologi klinis itu seperti yang dikemukakan Witmer, sebaiknya tidak disebut psikologi klinis melainkan sebagai psikologi untuk memberi pelayanan yang bersifat personal atau sebagai alternatif. Disamping itu Woodworth juga berpendapat bahwa psikolog klinis di masa depan harus berusaha untuk memberikan bantuan kepada individu dalam menyelesaikan masalah seleksi untuk keperluan pendidikan dan pekerjaan, penyesuaian keluarga dan social, kondisi-kondisi kerja, dan aspek kehidupan lainnya.


Yang sering menjadi pegangan dan acuan dasar dalam memahami pengertian psikologi klinis saat ini adalah definisi yang ditetapkan oleh American Psychological Association (APA) yang merumuskan psikologi klinis sebagai berikut: Psikologi Klinis adalah suatu wujud psikologi terapan yang bermaksud memahami kapasitas perilaku dan karakteristika individu yang dilaksanakan melalui metode pengukuran, analisis,serta pemberian saran dan rekomendasi, agar individu mampu melakukan penyesuaian diri secara patut.

Asesmen Psikologi Klinis
Asesmen klinis adalah proses yang digunakan psikolog klinis untuk mengamati dan mengevaluasi masalah social dan psikologis klien, baik menyangkut keterbatasan maupun kapabilitasnya. Sebagai prasyarat bagi terapi, asesmen klinis menyediakan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan kunci, seperti menyangkut kelemahan klien dan akibat-akibaynya, defisiensi dan gangguan apa yang terjadi pada pemfungsian klien atau lingkungan sosialnya untuk mengelola masalah dan atau mengembangkan kecenderungan positifnya, serta intervensi apa yang terbaik digunakan untuk dapat memenuhi kebutuhan klien.


Asesmen juga memberikan kontribusi terhadap riset klinis, antara lain dengan menyediakan landasan ilmiah untuk mengevaluasi terapi dan membangun teori-teori pemfungsian dan disfungsi manusia. Asesmen klinis sering pula diartikan sebagai psikodiagnostik, yaitu upaya untuk memahami sumber sumber penyakit melalui gejala-gejala sakit atau maladaptif dan kemudian memasukkannya ke dalam kelompok jenis gangguan yang baku atau telah dibakukan.


Terdapat banyak kemungkinan sasaran atau target yang diusahakan dalam membuat asesmen klinis. Psikolog klinis dapat memusatkan perhatian terhadap 1) disfungsi (psikologis) individual, memperhatikan abnormalitas atau kekurangan dalam aspek pikiran, emosi, atau tindakannya. Dalam kasus-kasus lain, bisa jadi mereka memusatkan perhatian untuk menemukan 2) kekuatan klien, dalam hal kemampuan, keterampilan, atau sensitivitas yang menjadi target evaluasi, dan melukiskan 3) kepribadian subyek.
Beberapa metode asesmen dalam psikologi klinis diantaranya:

1. Wawancara
a. Wawancara mengenai status mental
b. Wawancara sosial-klinis
c. Wawancara yang difraksikan
d. Wawancara terstruktur

2. Tes terstruktur
Tes ini meminta subyek untuk menjawab pertanyaan secara tegas, tidak samar-samar, ya atau tidak, dan maknanya uniform, serta merespon pertanyaan dengan cara yang terbatas. Tes terstruktur membutuhkan standarisasi yang hati-hati dan norma yang representatif.

3. Tes tak terstruktur
Adalah tes yang memberikan pertanyaan kepada klien dengan cara menjawab yang memberikan keleluasaan lebih besar, misalnya Thematic Apperception Test (TAT) atau Rorschah Inkblot-tes.

4. Asesmen-asesmen perilaku
Observasi ini merupakan observasi sistematik yang dilakukan dalam laboratorium, di klinik, kelas ataupun dalam perilaku sehari-hari.

5. Kunjungan rumah
Kunjungan rumah dimaksudkan untuk memahami kahidupan alamiah klien di rumah dan keadaan serta pola kehidupan keluarga klien.

6. Catatan kehidupan
Psikolog sering tertarik untuk mempelajari riwayat hidup klien, karena riwayat itu dapat mendasari permasalahan yang dialaminya saat ini.

7. Dokumen Pribadi
Catatan atau dokumen pribadi penting untuk mengetahui motif utama klien, maupun hal-hal yang disembunyikan, penyangkalan, hambatan, dan kesulitan klien dalam membicarakan permasalahannya.

8. Pemfungsian psikofisiologis
Hubungan psikis-mental dan faal organ tubuh sangatlah erat. Tekanan darah, misalnya, sering berhubungan dengan adanya kecemasan dan juga merupakan reaksi atas tekanan-tekanan psikologis.

Intervensi Klinis
Intervensi dalam rangka psikologi dan khususnya psikologi klinis adalah membantu klien atau pasien menyelesaikan masalah psikologis, terutama sisi emosionalnya. Kendall dan Norton Ford berpendapat bahwa intervensi klinis meliputi penggunaan prinsip-prinsip psikologi untuk menolong orang menangani masalah-masalah dan mengembangkan kehidupannya yang memuaskan. Psikolog klinis menggunakan pengetahuannya mengenai pemfungsian manusia dan system-sistem sosial dalam kombinasi dengan hasil asesmen klinis guna merumuskan cara untuk membantu perubahan klien ke arah yang lebih baik.

Istilah intervensi khusus untuk psikologi adalah psikoterapi. Pada umumnya terapi menampilkan empat gambaran kegiatan, yaitu: (1) membangun hubungan murni antara terapis dan klien, (2) membantu klien melakukan eksplorasi diri dengan cara-cara psikologis, (3) terapis dan klien bekerja sama memecahkan masalah psikologis klien, (4) terapis membangun sikap dan mengajarkan ketarmpilan kepada klien.

Sumber:
-Baihaqi, MIF dkk. Psikiatri(Konsep Dasar Dan Gangguan-gangguan), Bandung: PT. Refika Aditama, 2005
-Flanagen, Robb. ADHD Kids, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005
-Tristiadi Ardi Ardani, dkk. Psikologi Klinis, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
-Wiramihardja, Sutardo. Pengatntar Psikologi Klinis, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006

Saturday, February 4, 2012

Anak Nakal, Salah Orangtuanya!

Psikolog dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Hastaning Sakti, mengatakan, orangtua perlu mendengarkan curahan hati anak supaya tidak semakin sering muncul kasus kenakalan remaja.
     
"Orangtua jangan berpikir kalau remaja zaman sekarang berada pada posisi yang salah dan rawan," katanya.

Menurut penilaiannya, jika ada pihak yang semestinya bertanggung jawab atas terjadinya kasus-kasus kenakalan remaja, maka pihak tersebut adalah orangtuanya sendiri.

Kasus kenakalan remaja adalah perilaku menyimpang yang terjadi pada remaja. Masalah sosial ini terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku.

Pemakaian narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) merupakan salah satu kasus kenakalan remaja yang semakin meningkat setiap tahunnya.

Tahun 2004 diperkirakan jumlah penyalahguna narkoba, yang sebagian besar adalah remaja, mencapai angka 2,9 juta sampai 3,6 juta orang atau setara 1,5 persen penduduk Indonesia.

Kebanyakan kasus kenakalan remaja, termasuk penyalahgunaan narkoba, terjadi karena orangtua tidak menerapkan metode "parenting skill" atau secara sederhana bisa diterapkan dengan mau mendengarkan keluh kesah dan isi hati anak.

Ia mengatakan, orangtua lebih sering marah-marah dan menyalahkan anak daripada memberi solusi untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi.

"Anak adalah anugerah yang harus dijaga. Kita tidak bisa menyalahkan mereka begitu saja atau menyalahkan lingkungan, tetapi kembali kepada diri orangtua sendiri, apakah selama ini menjaga anugerah tersebut dengan baik atau tidak," kata Dosen Psikologi Universitas Diponegoro ini.

Ia menjelaskan, pada masa remaja, justru keinginan untuk mencoba-coba besar sekali. Pada usia remaja, mereka berada pada masa pencarian jati diri.

Ia mengatakan, di sinilah peran orangtua sangat dibutuhkan untuk mengarahkan anak, bukan mempersalahkan, atau bahkan meremehkan apa yang mereka kerjakan.

"Satu yang perlu diingat, setiap orangtua sudah pernah menjadi anak, tetapi anak belum pernah menjadi orangtua. Inilah mengapa orangtua perlu mengerti anaknya," katanya.

Sumber: Antara

Limitations of Economic Causes Domestic Violence and Divorce

Economic limitations of the family to be the main cause of domestic violence or domestic violence and divorce. Factor that puts money above everything it can even be pemicuk child sexual abuse itself. 

Head of Women Empowerment, Child Protection and Family Berancana (BP3AKB) Blora district, Suryanto, said that during 2008 there were 14 cases of domestic violence in Blora. A total of 10 domestic violence cases, three cases of rape and sexual violence, and one case of neglect. 

The most tragic cases involving sexual violence against the child's real father is still sitting in sixth grade elementary school in Cepu. The incident was due to busy mothers who work as street peddlers in the train. 

According Suryanto, the mother was the sole breadwinner because her husband does not work. During the mother's work and come home late at night, her husband's intercourse with his daughter. "Upon investigation it turns out the mother rarely meet the desires of her husband because of busy work," he said. 

During this time, Suryanto added, the Government of the District Blora little attention those cases. At most, only Blora Police on the case of the offense. 

In May 2009, the Government will establish a Blora District Integrated Services Team Victims of Gender-Based Violence and Child. The team members include BP3AKB, Blora Police, Public Health Service, and District Attorney Blora. 

"If there are cases relating to women and children, the team will handle it in an integrated, in terms of legal, psychological, counseling, and intensive," said Suryanto.

 
In Apex, the economic limitations often lead to divorce. Based on data from the Religious Apex, divorce cases handled in 2008 as many as 898 cases. That figure is higher than the previous year, 859 cases. 

A total of 585 cases of a lawsuit from the woman, while 313 cases were dropped divorce her husband, the head of the Religious Zaenal Apex Court. 


According to Zaenal, the leading cause of divorce is a matter of economics, as many as 65 percent. Factors that trigger the husband became a drunk, violent towards family members, and cheating. 

The women who filed for divorce mostly from young couples aged 25 years and under. The percentage reached 78 percent, he said. 

Wednesday, February 1, 2012

Many of Adolescent Marriage in Early Childhood

A total of 34.5 percent from about 120,000 marriages in Indonesia conducted by early adolescence. The majority of them are in the age range 12-18 years.

Chairman of the Indonesian Child Protection Commission (KPAI) Hadi Supeno said, about 40 percent of early marriages took place in East Java. In addition to its religious orders, marriage is also often motivated by issues surrounding tradition, of marrying young.
"For fear of being labeled as an old maid, then parents hurried to match and marry off his daughter was a teenager," he said.

Hadi said, another factor that often arises is the economic problem. This is a lot behind early marriages in five districts in West Java, including in Cirebon, Falkirk, and Indramayu. Typically, girls from a wealthy family married with families in an effort to pay family debts or boost the economy.

Hadi said, according to the Act (Act) No. 1 of 1974 on Marriage, marriage age limit is 16 years old. However, in Law Number 23 Year 2002 on Child Protection, those within the age range 0-18 years are still included in the category of children.

"That way, marriage is done by those aged not more than 18 years, still referred to as early marriage or marriage minors," he said.
Early marriage will ultimately lead to bad things. In addition to triggering terjadinyababy boom, and the high maternal and infant mortality. Their emotions are not mature enough, often also lead to family disharmony and eventually result in divorce.

"That way, the kids or the generation born from them are less qualified and not getting enough attention from her parents," he said.
Responsible for the Working Group (Working Group) Complaints KPAI Satriyandayaningrum said the divorce case will lead to new conflicts antarsuami wife is the problem of child custody.

"In fact, a prolonged conflict can occur because of court decisions is not necessarily adhered to by both parties," he said.

In some example cases, child custody is decided authorized in the mother, were ignored because the child continues to care of his father, or vice versa. This in turn makes the child psychiatric conditions increasingly nervous and depressed.

Many Parents Neglect Child Emotion

Many parents are still considered child neglect in the form of emotional feeling of sadness, anger, and happiness that can not be managed with both a mental andemotional impact on the formation.
      
"Parents are still many who are not aware of emotions in children even tend to not care," said the expert in child psychology, Seto Mulyadi.

Seto Mulyadi or familiarly called Kak Seto present at the Padang in order to give a seminar on "Managing Emotions in Children" followed hundreds of early childhoodeducation teacher (early childhood) and parents in the hall of the Office of the Governor of West Sumatra.

According to him, many parents are up to now ignored and even tend to ignore theemotions on the child when it would have a negative impact on his emotionaldevelopment.

"Some parents do not realize her son was angry or sad and tend not to care, when the child when it needs attention," he said.

As a result, Seto said the child would grow up to be closed and can not manage his emotions stable.

Seto said in early childhood education or age zero to five years is very importantbecause that is the golden period of brain formation and personality of children.

"In those days are very important for parents to provide education for the formation of brain cells and emotionally to the child to form his personality," he said.

However, Seto said, parents tend not to recognize and ignore this period, some even providing education not only form a balanced intellectual intelligence only andignore the emotional intelligence.

"Now that it's actually more a role of emotional intelligence and spiritual rather thanintellectual intelligence," he said.

Therefore, he urged parents to pay attention to children's education, for example by entering it in early childhood institutions.

In addition, parents are also encouraged more attention and affection to the childrenso they can form to be integrated personality.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites