Cemburu dan
rasa dikhianati karena merasa diselingkuhi membuat BS (36) gelap mata. Ia pun
tega menyiksa, membunuh, dan memotong-motong jasad perempuan yang pernah ia
cintai, DS (32). Cinta yang dibina bertahun-tahun pun runtuh menjadi benci dan
memicu amarah yang membara.
Cinta yang berubah jadi benci hingga tega bertindak keji di luar kemanusiaan
bukan hanya dilakukan BS, melainkan juga pelaku mutilasi lain seperti Very
Idham Henyansyah alias Ryan yang kasusnya terungkap pada 2008. Pria ini tega
membunuh sedikitnya 10 orang, beberapa di antaranya dimutilasi dan punya
hubungan asmara dengannya.
Cinta, cemburu, marah, dan benci, apa pun orientasi seksualnya, merupakan
perilaku yang dihasilkan otak sosial manusia. Otak sosial ini merupakan
kombinasi dari kemampuan pikir atau logika yang berpusat di korteks (lapisan
terluar) otak serta pengelolaan emosi yang berpusat di sistem limbik.
Munculnya cinta di otak jauh lebih kompleks dibanding perasaan yang lain karena
melibatkan lebih banyak komponen otak, hormon, dan zat kimia otak
(neurotransmitter).
Helen Fisher penulis The Drive to Love: The Neural Mechanism for Mate
Selection dalam buku The New Psychology of Love, 2008, menyebut cinta muncul
dalam tiga tahapan berbeda di otak, mulai dari dorongan seksual, ketertarikan,
dan keterikatan. Setiap tahapan melibatkan hormon, neurotransmitter, dan bagian
otak berbeda.
Keterikatan mendorong otak memproduksi hormon oksitosin. Hormon ini membawa
rasa keterikatan di antara dua orang yang saling mencinta hingga lahir rasa
senang dan bahagia. Saat cinta berkurang dan muncul benci, produksi oksitosin
berkurang.
”Otak tak dapat ditipu dengan cinta pura-pura,” kata Sekretaris Jenderal
Masyarakat Neurosains Indonesia (INS) yang juga dosen Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi, Taufiq Pasiak, Sabtu (9/3).
Rasa peduli yang ditunjukkan seseorang kepada pasangan karena barang-barang
mahal yang diberikan, tak bisa merangsang otak memproduksi oksitosin.
Cemburu, menurut Christine R Harris dalam The Evolution of Jealously pada
American Scientist Volume 92 Nomor 1, 2004, adalah emosi negatif yang
muncul saat hubungan seseorang dengan orang lain yang spesial terancam oleh
adanya pesaing lain. Cemburu menjadi penyebab kematian terbesar ketiga di luar
kecelakaan.
Meski cemburu adalah emosi bawaan, ekspresi pada setiap orang berbeda sesuai
dengan kemampuan sosial kognitif dan tumbuh kembangnya. Inilah yang membuat
cemburu yang tidak wajar (morbid jealousy) tidak membedakan jenis kelamin yang
merasakan.
Menurut Taufiq, cinta tidak bisa berubah seketika menjadi benci. Untuk muncul
benci, harus ada stimulus berkelanjutan yang mengikis rasa cinta.
Benci dapat muncul karena cemburu, amarah, atau bosan. Cemburu merupakan basis
munculnya benci yang paling berbahaya. Cemburu yang tidak wajar berbeda jauh
sifatnya dengan cemburu yang sering dianggap sebagai bumbu sebuah hubungan.
”Cemburu paling berbahaya karena bisa membuat seseorang dikontrol oleh
emosinya, bukan logikanya,” ujarnya.
Pertahanan diri
Dasar cinta adalah memberi rasa tenang dan bahagia. Jika rasa itu terancam,
seperti hadirnya cemburu atau rasa dikhianati karena diselingkuhi, maka otak
dengan cepat membentuk sistem pertahanan diri untuk menjaga rasa tenang dan
bahagia tetap ada. Respons pertahanan diri itu berupa bertarung menghadapi
ancaman (fight) atau melarikan diri (flight).
Saat sistem pertahanan diri terbentuk, hormon kortisol sebagai penanda stres
diproduksi. Energi dalam diri pun terpusat hingga tubuh siap melakukan tindakan
fisik, baik itu memukul maupun berlari.
Ketika energi terpusat, seseorang bisa melakukan hal-hal yang tak mungkin
dilakukan dalam kondisi normal, seperti melompati tembok tinggi hingga membunuh
orang dengan sadis.
”Respons bertarung ini merupakan respons binatang yang masih ada dalam diri
manusia ketika berevolusi,” katanya.
Namun, cara bertarung tidak selalu mewujud dalam tindakan kasar. Perilaku
kekerasan, seperti memukul, menendang, hingga membunuh biasanya ditunjukkan
oleh mereka yang logikanya tidak terbentuk alias tidak terdidik baik. Jika
logika berjalan, yang muncul adalah kata-kata makian hingga pengusiran.
Peneliti Pusat Kesehatan Mental Masyarakat, Fakultas Psikologi, Universitas
Gadjah Mada, Rahmat Hidayat, mengatakan, ketika cinta begitu posesif hingga tak
mampu membedakan antara diri sendiri dan orang lain, maka rasa kehilangan yang
muncul akan menjadi akut.
Ketakutan akut inilah yang mendorong muncul kekejian karena tindakan yang
diambil hanya didasarkan atas pilihan menghilangkan atau kehilangan.
Kekejian tindakan yang dilakukan seseorang sangat bergantung pada kematangan kontrol
diri. Seseorang yang emosinya matang jika marah tidak akan bersikap seperti
anak-anak, seperti membanting benda-benda di sekitarnya. Mental pelaku mutilasi
yang umumnya belum berkembang membuat mereka mudah membunuh, bahkan memotong
tubuh orang yang pernah dicintai.
”Berubahnya tatanan kehidupan membuat banyak anak terlambat mengalami
kematangan psikologis. Pada saat bersamaan, kematangan seksual justru terjadi
lebih cepat,” katanya.
Psikiater dan Ketua Jejaring Komunikasi Kesehatan Jiwa, Pandu Setiawan, Senin
(11/3), mengatakan, pola pertahanan diri tiap orang sangat bergantung pada pola
asuh dan tumbuh kembang sejak kecil. Selain faktor biologis dan psikologis,
kematangan jiwa juga ditentukan oleh kondisi sosial.
Perilaku pelaku mutilasi yang menyimpang dari norma sekitarnya umumnya sudah
terdeteksi. Namun, masyarakat sekitarnya umumnya tidak peduli karena menganggap
bukan urusan mereka.
Selain itu, pelaku bisa melakukan tindakannya karena ada model. Inilah yang
membuat tayangan kekerasan perlu dibatasi agar tak justru mendorong seseorang
berbuat keji.
Mereka yang menunjukkan respons bukan dengan kekerasan, kata Taufiq, bukan
berarti lemah. Orang itu justru mampu memperhitungkan untung rugi, benar salah,
konsekuensi hukum, hingga penghormatan atas moral dan nilai.
”Sayangnya, anak Indonesia tidak dididik membuat keputusan berdasar logika.
Keputusan yang diambil lebih banyak didasarkan atas naluri,” ujarnya. Inilah
yang membuat kasus-kasus mutilasi di Indonesia lebih mudah terungkap dibanding
kasus serupa di luar negeri.
Sumber: http://health.kompas.com/read/2013/03/15/09473538/Saat.Cinta.Berubah.Menjadi.Benci
1 komentar:
Hadir n salam kenal ja.?
Post a Comment