Dunia
pendidikan sering mendapatkan tuduhan tidak menghadirkan realitas kehidupan,
sehingga para lulusannya menjadi ‘mati gaya’ ketika saatnya turun gunung.
Perguruan tinggi sering pula mendapatkan label ‘menara gading’. Kalimat ini
menggambarkan jauhnya realitas di kampus dengan realitas kehidupan di luar
kampus. Pengalaman sebagai pengajar di dua kampus swasta Jakarta memberi saya
pemahaman yang sedikit ‘berbeda’ dan memperlihatkan hal lain dari label di
atas. Label yang kemudian terasa menjadi ‘excuse’masyarakat Indonesia,
menguak isu kebiasaan kalau bukan disebut ‘budaya’ kita yang lebih krusial.
‘Apa ada yang
kita pelajari di kelas yang digunakan sehari-hari?’ Apakah mempelajari filsafat
ada manfaatnya di pekerjaan? Apakah dalam interview kerja akan ditanyakan
pemikiran Socrates? Apakah teori dan jurnal sains itu dapat digunakan kelak
ketika bernegosiasi dengan klien atau menarik konsumen? Masih banyak gurauan
dan pernyataan sinis sekaligus miris yang akrab di percakapan sehari-hari. Kita
bisa menemui di kantin kampus hingga perkantoran. Jawabannya tentu : tidak ada.
Kampus adalah
realitas
Lebih dari
sekali dua kali saya mendapatkan pertanyaan dengan wajah ‘memelas’, “Haruskah
menggunakan textbook?” Mereka nampak kecewa mengetahui ‘pelarangan’ Om
Google sebagai ‘handbook’ mata kuliah. Banyak mahasiswa
juga yang masih keliru menganggap mesin pencari ini sebagai ‘referensi’.
Padahal telah banyak penerbit Indonesia yang menerjemahkan textbook sehingga
jauh lebih terjangkau dan lebih mudah ditemukan dibandingkan sepuluh tahun yang
lalu.
Menggunakan di
sini juga bermakna variatif, mulai dari membeli, mengkopi beberapa bagian
hingga meminjam di perpustakaan atau teman (kakak tingkat). Hingga saya pernah
mengajak mahasiswa untuk mengingat scene-scene dalam film Hollywood
yang terkesan ‘hura-hura’. Dalam adegan sekolah atau kampus, mahasiswa atau
siswa dengan warna-warni penampilan (dari funky – sexy) tetap
menenteng bertumpuk buku di tangannya.
Jika
melukiskan ekspresi mahasiswa dengan kartun, ada satu bubble sama di
atas kepala mereka, “Kuliah tidak sama dengan kerja kelak”; “Ini hanya teori”,
dsb. Citra ini yang sedikit banyak menjadi dorongan negatif untuk kurang atau
tidak bersungguh-sungguh menjalani kehidupan kampus. Padahal, kampus bagi
mahasiswa adalah dunia riil, sangat riil yang bisa menempati porsi utama pada
masa perkembangan kognitif mereka saat itu.
Kampus adalah
miniatur kehidupan yang memberikan kesempatan mahasiswa untuk mengasah
ketrampilan akademik, interaksi sosial bahkan entrepreneurship. Soft skill utama
seorang lulusan perguruan tinggi adalah ketrampilan menganalisa, menyusun
logika, komunikasi aktif, kerjasama, bahkan kepemimpinan. ‘Berdialog’ dengan
para ilmuan dari penjuru dunia melalui teori-teori mereka adalah salah satu
media mengasah mind. Membaca textbook, membahas isu praktis
dengan analisa teoretik adalah hal riil untuk membentuk ketrampilan analisa
logika.
Apresiasi
terhadap nilai tinggi adalah apresiasi pada usaha selama kehidupan riil di
tahap tersebut, yakni belajar. Dalam proses seleksi seperti metode assessment
center, pewawancara akan melakukan pendalaman konfirmatif – klarifikatif
terhadap nilai-nilai tersebut. Bagian ini yang sering luput dari pelamar kerja fresh-graduate sehingga
tidak sedikit yang terkaget apalagi mereka yang sebenarnya tidak terlalu
sungguh-sungguh menjalani pendidikan. Sebagian besar masyarakat (mahasiswa
yang lulus beserta keluarganya) dengan cepat menyimpulkan untuk ucap
‘perpisahan’ tegas dengan dunia pendidikan. Layaknya memutus jembatan di
belakang dan menatap kehidupan baru yang sama sekali tidak ada hubungannya.
Mindset Pendidik
& Kampus
Ada excuse lain
yang saya tangkap baik kampus secara institusi maupun para pendidik. Beberapa
pemakluman yang sepertinya tampak ‘baik’ untuk mahasiswa yang secara implisit
terkandung dalam pandangan; “Mahasiswa semester awal, yah.. masih seperti
SMA lah, maunya disuapi, masih susah untuk membaca, terlebih textbook.”
Atau, “Ini kan bukan mahasiswa psikologi (untuk mahasiswa non-psikologi), jadi
tidak wajib memiliki textbook lah..” Saya yakin, hal ini juga
ditemui oleh dosen lain ketika mengajar di kelas non disiplin utamanya.
Pandangan ini
sebenarnya konsisten dengan keluhan rendahnya kemampuan membaca di Indonesia.
Sebagian pendidik pun memperlakukan sumber ilmu secara praktis, hanya karena
bukan disiplin utamanya, maka tidak perlu membaca handbook-nya. Pada sisi
lain, mahasiswa menjadi melihat ‘kurang signifikannya’ sumber bacaan dalam mata
kuliah tersebut. Makna lainnya, adalah dosen masih diminta untuk menjadi audiobook. Pada
saat yang sama, pembelajaran mandiri sedang digalakkan di mana posisi dosen
lebih untuk pengantar dan berdiskusi. Seharusnya pendidik memberikan
kepercayaan pada mahasiswa tingkat bawah untuk membedah isi buku dan berdiskusi
lebih lanjut di kelas maupun luar kelas. Implementasi dari memberi kepercayaan
di sini adalah ‘mendorong’ bahkan ‘memaksa’ mereka untuk mempelajari buku-buku
utama, bukan sekedar copy-paste untuk tugas essay.
Ada hal lain
yang masih perlu dikaji, namun memberikan satu pertanyaan di benak saya tentang
hebohnya ujian nasional di negeri ini. Selain ketrampilan membaca di atas, ada
strategi belajar lain yang nampaknya masih asing bagi mahasiswa yakni teamwork.
Ketika diminta membentuk kelompok-kelompok kecil di kelas untuk menjawab sekian
soal menggunakan textbook, sebagian besar nampak panik melihat
banyaknya soal dan waktu yang tersedia. Tugas ini menjadi sangat menekan dan
tidak realistis. Pada akhirnya mereka perlu diingatkan bahwa mereka adalah tim
yang terdiri dari beberapa orang. Pola kerjasama satu soal dikeroyok lima orang
tentu akan memakan waktu satu hari untuk menyelesaikan lima soal, bukan 25
menit. Kecuali mereka semua telah membaca materi kuliah sebelum masuk kelas.
Pola kerjasama
tim dengan pembagian tugas dan delegasi yang tampaknya ‘asing’ ini menjadi
paradoks dengan budaya kolektif kita. Tidak heran jika siswa dan sekolah
menjadi sangat tertekan dengan materi ujian nasional, jika strategi belajarnya
masih konvensional. Saya tidak berani menggeneralisir semua sekolah di
Indonesia, namun kecurigaan ini yang perlu dikaji kembali. Pertanyaan yang
lebih dalam, apa pemahaman kerja tim di kalangan siswa – mahasiswa kita? Apakah
satu pemimpin dan sisanya pengikut pasif? Apakah ini yang membuat mahasiswa
enggan menjadi pemimpin atau koordinator kelas karena ia lah yang harus bekerja
keras, sementara yang lain tinggal terima beres?
Pendelegasian
materi untuk kemudian masing-masing memberikan presentasi menjadi salah satu
alternatif belajar yang efektif. Salah satu kompetensi dasar dalam seleksi
kerja pada freshgraduate adalah problem solving dan planning
organizing. Bagaimana individu mampu mengidentifikasi masalah, membuat
prioritas dan mengoptimalkan sumber daya yang ada (rekan kerja – materi kerja).
Ini seharusnya menjadi kompetensi dasar yang dimiliki mereka yang menyandang
title sarjana.
Ketrampilan
lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah menulis dan presentasi. Hampir
semua pekerjaan menuntut adanya laporan tertulis, komunikasi tertulis baik yang
terkonsep atau langsung seperti membalas e-mail rekanan/ klien dalam
kerjasama proyek yang intensif. Hanya penguasaan materi lah yang membuat
seorang mahasiswa bisa lebih mengembangkan ketrampilan presentasinya di kelas.
Materi kuliah adalah realitas, se-realitas- proposal kerjasama sebuah
perusahaan kelak di dunia kerja.
Berbagai
mozaik ini seluruhnya berseru “Kampus adalah realitas, bukan mimpi atau
hotel singgah.”
Oleh : RR.
Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi.
Sumber: http://www.e-psikologi.com/epsi/pendidikan.asp