English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Thursday, February 28, 2013

Kampus Bukan Hotel Singgah


Dunia pendidikan sering mendapatkan tuduhan tidak menghadirkan realitas kehidupan, sehingga para lulusannya menjadi ‘mati gaya’ ketika saatnya turun gunung. Perguruan tinggi sering pula mendapatkan label ‘menara gading’. Kalimat ini menggambarkan jauhnya realitas di kampus dengan realitas kehidupan di luar kampus. Pengalaman sebagai pengajar di dua kampus swasta Jakarta memberi saya pemahaman yang sedikit ‘berbeda’ dan memperlihatkan hal lain dari label di atas. Label yang kemudian terasa menjadi ‘excuse’masyarakat Indonesia, menguak isu kebiasaan kalau bukan disebut ‘budaya’ kita yang lebih krusial.

‘Apa ada yang kita pelajari di kelas yang digunakan sehari-hari?’ Apakah mempelajari filsafat ada manfaatnya di pekerjaan? Apakah dalam interview kerja akan ditanyakan pemikiran Socrates? Apakah teori dan jurnal sains itu dapat digunakan kelak ketika bernegosiasi dengan klien atau menarik konsumen? Masih banyak gurauan dan pernyataan sinis sekaligus miris yang akrab di percakapan sehari-hari. Kita bisa menemui di kantin kampus hingga perkantoran. Jawabannya tentu : tidak ada.

Kampus adalah realitas
Lebih dari sekali dua kali saya mendapatkan pertanyaan dengan wajah ‘memelas’, “Haruskah menggunakan textbook?” Mereka nampak kecewa mengetahui ‘pelarangan’ Om Google sebagai ‘handbook’  mata kuliah.  Banyak mahasiswa juga yang masih keliru menganggap mesin pencari ini sebagai ‘referensi’. Padahal telah banyak penerbit Indonesia yang menerjemahkan textbook sehingga jauh lebih terjangkau dan lebih mudah ditemukan dibandingkan sepuluh tahun yang lalu.

Menggunakan di sini juga bermakna variatif, mulai dari membeli, mengkopi beberapa bagian hingga meminjam di perpustakaan atau teman (kakak tingkat). Hingga saya pernah mengajak mahasiswa untuk mengingat scene-scene dalam film Hollywood yang terkesan ‘hura-hura’. Dalam adegan sekolah atau kampus, mahasiswa atau siswa dengan warna-warni penampilan (dari funky – sexy) tetap menenteng bertumpuk buku di tangannya.

Jika melukiskan ekspresi mahasiswa dengan kartun, ada satu bubble sama di atas kepala mereka, “Kuliah tidak sama dengan kerja kelak”; “Ini hanya teori”, dsb. Citra ini yang sedikit banyak menjadi dorongan negatif untuk kurang atau tidak bersungguh-sungguh menjalani kehidupan kampus. Padahal, kampus bagi mahasiswa adalah dunia riil, sangat riil yang bisa menempati porsi utama pada masa perkembangan kognitif mereka saat itu.

Kampus adalah miniatur kehidupan yang memberikan kesempatan mahasiswa untuk mengasah ketrampilan akademik, interaksi sosial bahkan entrepreneurship. Soft skill utama seorang lulusan perguruan tinggi adalah ketrampilan menganalisa, menyusun logika, komunikasi aktif, kerjasama, bahkan kepemimpinan. ‘Berdialog’ dengan para ilmuan dari penjuru dunia melalui teori-teori mereka adalah salah satu media mengasah mind. Membaca textbook, membahas isu praktis dengan analisa teoretik adalah hal riil untuk membentuk ketrampilan analisa logika.

Apresiasi terhadap nilai tinggi adalah apresiasi pada usaha selama kehidupan riil di tahap tersebut, yakni belajar. Dalam proses seleksi seperti metode assessment center, pewawancara akan melakukan pendalaman konfirmatif – klarifikatif terhadap nilai-nilai tersebut. Bagian ini yang sering luput dari pelamar kerja fresh-graduate sehingga tidak sedikit yang terkaget apalagi mereka yang sebenarnya tidak terlalu sungguh-sungguh menjalani pendidikan. Sebagian besar masyarakat (mahasiswa yang lulus beserta keluarganya) dengan cepat menyimpulkan untuk ucap ‘perpisahan’ tegas dengan dunia pendidikan. Layaknya memutus jembatan di belakang dan menatap kehidupan baru yang sama sekali tidak ada hubungannya.

Mindset Pendidik & Kampus
Ada excuse lain yang saya tangkap baik kampus secara institusi maupun para pendidik. Beberapa pemakluman yang sepertinya tampak ‘baik’ untuk mahasiswa yang secara implisit terkandung dalam pandangan; “Mahasiswa semester awal, yah.. masih seperti SMA lah, maunya disuapi, masih susah untuk membaca, terlebih textbook.” Atau, “Ini kan bukan mahasiswa psikologi (untuk mahasiswa non-psikologi), jadi tidak wajib memiliki textbook lah..”  Saya yakin, hal ini juga ditemui oleh dosen lain ketika mengajar di kelas non disiplin utamanya.

Pandangan ini sebenarnya konsisten dengan keluhan rendahnya kemampuan membaca di Indonesia. Sebagian pendidik pun memperlakukan sumber ilmu secara praktis, hanya karena bukan disiplin utamanya, maka tidak perlu membaca handbook-nya. Pada sisi lain, mahasiswa menjadi melihat ‘kurang signifikannya’ sumber bacaan dalam mata kuliah tersebut. Makna lainnya, adalah dosen masih diminta untuk menjadi audiobook. Pada saat yang sama, pembelajaran mandiri sedang digalakkan di mana posisi dosen lebih untuk pengantar dan berdiskusi. Seharusnya pendidik memberikan kepercayaan pada mahasiswa tingkat bawah untuk membedah isi buku dan berdiskusi lebih lanjut di kelas maupun luar kelas. Implementasi dari memberi kepercayaan di sini adalah ‘mendorong’ bahkan ‘memaksa’ mereka untuk mempelajari buku-buku utama, bukan sekedar copy-paste untuk tugas essay.

Ada hal lain yang masih perlu dikaji, namun memberikan satu pertanyaan di benak saya tentang hebohnya ujian nasional di negeri ini. Selain ketrampilan membaca di atas, ada strategi belajar lain yang nampaknya masih asing bagi mahasiswa yakni teamwork. Ketika diminta membentuk kelompok-kelompok kecil di kelas untuk menjawab sekian soal menggunakan textbook, sebagian besar nampak panik melihat banyaknya soal dan waktu yang tersedia. Tugas ini menjadi sangat menekan dan tidak realistis. Pada akhirnya mereka perlu diingatkan bahwa mereka adalah tim yang terdiri dari beberapa orang. Pola kerjasama satu soal dikeroyok lima orang tentu akan memakan waktu satu hari untuk menyelesaikan lima soal, bukan 25 menit. Kecuali mereka semua telah membaca materi kuliah sebelum masuk kelas.

Pola kerjasama tim dengan pembagian tugas dan delegasi yang tampaknya ‘asing’ ini menjadi paradoks dengan budaya kolektif kita. Tidak heran jika siswa dan sekolah menjadi sangat tertekan dengan materi ujian nasional, jika strategi belajarnya masih konvensional. Saya tidak berani menggeneralisir semua sekolah di Indonesia, namun kecurigaan ini yang perlu dikaji kembali. Pertanyaan yang lebih dalam, apa pemahaman kerja tim di kalangan siswa – mahasiswa kita? Apakah satu pemimpin dan sisanya pengikut pasif? Apakah ini yang membuat mahasiswa enggan menjadi pemimpin atau koordinator kelas karena ia lah yang harus bekerja keras, sementara yang lain tinggal terima beres?

Pendelegasian materi untuk kemudian masing-masing memberikan presentasi menjadi salah satu alternatif belajar yang efektif. Salah satu kompetensi dasar dalam seleksi kerja pada freshgraduate adalah problem solving  dan planning organizing. Bagaimana individu mampu mengidentifikasi masalah, membuat prioritas dan mengoptimalkan sumber daya yang ada (rekan kerja – materi kerja). Ini seharusnya menjadi kompetensi dasar yang dimiliki mereka yang menyandang title sarjana.

Ketrampilan lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah menulis dan presentasi. Hampir semua pekerjaan menuntut adanya laporan tertulis, komunikasi tertulis baik yang terkonsep atau langsung seperti membalas e-mail rekanan/ klien dalam kerjasama proyek yang intensif. Hanya penguasaan materi lah yang membuat seorang mahasiswa bisa lebih mengembangkan ketrampilan presentasinya di kelas. Materi kuliah adalah realitas, se-realitas- proposal kerjasama sebuah perusahaan kelak di dunia kerja.

Berbagai mozaik ini seluruhnya berseru “Kampus adalah realitas, bukan mimpi atau hotel singgah.”

Oleh : RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi.

Sumber: http://www.e-psikologi.com/epsi/pendidikan.asp

Thursday, February 21, 2013

Bahaya Facebook untuk Remaja


Begitu diperkenalkan ke publik, situs jejaring sosial Facebook langsung menjerat hati jutaan penggemarnya. Media sosial ini dicintai karena memungkinkan seseorang berhubungan kembali dengan teman lama dari sekolah atau perguruan tinggi tanpa harus bertemu muka.

Namun penggunaan Facebook yang intens memiliki konsekuensi, terutama bagi remaja. Larry Rosen, psikolog di Cal State Dominguez Hills, yang telah mempelajari dampak teknologi terhadap manusia selama lebih dari 25 tahun mengungkapkan situs jejaring sosial seperti ini berdampak buruk untuk anak dan remaja.

Ia mengungkapkan temuannya dalam pertemuan tahunan American Psychological Association. Menurutnya, remaja yang sering menggunakan teknologi seperti video game atau internet, cenderung lebih mengeluhkan nyeri perut, gangguan tidur, kecemasan dan depresi. Mereka juga dilaporkan sering bolos sekolah.

Selain itu remaja dan orang dewasa muda yang sering login ke Facebook lebih narsis. "Situs jejaring sosial membuat seseorang lebih narsis karena bisa mengiklankan dirinya sendiri 24 jam 7 hari seminggu menurut keinginan pribadi," kata Rosen.

Di antara pengguna dari segala usia, Rosen menilai makin banyak orang menggunakan Facebook, makin besar kemungkinan mereka memiliki gangguan kepribadian antisosial, paranoia, kecemasan dan penggunaan alkohol.

Ketika Rosen dan timmnya mengamati siswa SMP, SMA dan mahasiswa yang sedang belajar untuk ujian selama 15 menit, mereka menemukan bahwa kebanyakan siswa hanya bisa fokus selama dua sampai tiga menit sebelum mengalihkan perhatian mereka untuk hal-hal yang kurang ilmiah, seperti teks pesan atau fitur media sosial di ponsel. Tidak mengherankan siswa yang sebentar-sebentar memeriksa akun Facebook sambil belajar mendapatkan hasil yang buruk saat ujian.

Orang tua juga harus menangani bentuk lain dari jejaring sosial, seperti mengirim dan menerima pesan teks (SMS). Remaja rata-rata mengirimkan lebih dari 2.000 teks per bulan. Ini adalah jumlah besar yang bukan cuma memicu masalah tidur dan konsentrasi, tetapi juga stres fisik.

Rosen menunjukkan contoh seorang remaja di Chicago yang menderita sindrom carpal tunnel dan memerlukan obat pereda nyeri dan perban pada pergelangan tangan setelah mengirim lebih dari 100 teks perhari.

"Anak-anak dibesarkan pada konsep koneksi. Bagi mereka bukan kualitas yang penting, tetapi hubungan itu sendiri. Telepon atau bertemu tatap muka hanya  memungkinkan jumlah minimum koneksi, sementara alat-alat lain memungkinkan mereka untuk terhubung ke dunia," kata Rosen.

Meski Facebook juga memiliki banyak sisi positif, tetapi Rosen menyarankan agar orangtua perlu memberi pemahaman pada anak mereka mengenai cara berperilaku secara online. Hal ini bisa mendorong anak untuk menyadari apa yang boleh dan dilarang ketika menggunakan internet.

Ia menambahkan, media sosial jika digunakan secara tepat bisa membantu anak berperilaku empati dan berinteraksi dengan teman-temannya tanpa harus mengkhawatirkan reaksi orang secara langsung. "Untuk anak-anak pemalu ini akan menjadi nilai tambah dan membantu mereka keluar dari cangkangnya," katanya.

Tetapi ada satu hal penting yang kerap dilupakan orangtua, yakni Facebook sebenarnya ditujukan untuk orang dewasa, bukan anak-anak. "Berbeda dengan bullying di sekolah, bullying yang terjadi di internet bisa terjadi setiap saat," katanya.

Sumber: www.latimes.com

Musik Metal Pengaruhi Mental Remaja


Musik beraliran heavy metal merupakan jenis musik yang digandrungi remaja. Namun, para peneliti mengingatkan bahwa penggemar musik ini lebih berisiko menderita depresi, bahkan bunuh diri.

Katrina McFerran, dari Melbourne University, Australia, yang melakukan penelitian selama 5 tahun mengenai pengaruh musik pada kondisi mental remaja, menemukan bahwa musik heavy metal menyebabkan gangguan mental pada remaja usia 13-18 tahun.

"Kebanyakan remaja mendengarkan musik untuk tujuan positif, seperti memperbaiki mood atau menambah energi ketika berolahraga. Tetapi, remaja yang berisiko depresi cenderung mendengarkan musik, terutama musik heavy metal, untuk tujuan negatif," kata McFerran.

Ia menambahkan, pengaruh musik bergenre rap, rock, atau pop terhadap kondisi mental remaja ternyata berbeda dengan musik heavy metal.

"Remaja mendengarkan musik heavy metal karena itu menjadi pelarian dari realitas. Mereka juga menemukan musik-musik itu merefleksikan penderitaan mereka sehingga mereka tidak merasa kesepian lagi," katanya.

Kendati begitu, ada juga remaja yang mengatakan mood mereka justru membaik setelah mendengarkan musik metal. "Orangtua dan sekolah bisa melakukan intervensi untuk mencegah gangguan mental yang mungkin dialami remaja," katanya.

Selain itu, ia juga menyarankan agar orangtua membuka komunikasi dengan anak mereka. "Tanyakan perasaan mereka setelah mendengarkan musik heavy metal. Jika anak mengatakan mereka bertambah down, sebaiknya larang anak mendengarkan musik ini," katanya.

Sumber: www.foxnews.com

Saturday, February 16, 2013

Stres Pekerjaan Tak Memicu Kanker


Stres kronik memang dianggap sebagai salah satu faktor pemicu kanker. Namun menurut studi terbaru stres pekerjaan tidak termasuk diantaranya.

Sebuah tim peneliti internasional baru-baru ini mempublikasikan hasil penelitian mereka mengenai kaitan antara stres pekerjaan dengan kanker. Ternyata stres pekerjaan bukan faktor risiko kanker.

"Meski mengurangi stres yang ditimbulkan pekerjaan bisa meningkatkan kesehatan fisik dan psikologi para pekerja, tetapi perlu ditegaskan stres pekerjaan tidak berdampak pada timbulnya kanker," kata Katriina Heikkila dari Finnish Institute of Occupational Health.

Hasil penelitian yang dilakukan Heikkila dan timnya ini bisa membuat para pekerja lebih tenang. Namun stres sendiri diketahui bisa menyebabkan depresi.

"Kita tahu kalau stres akan berpengaruh pada reaksi tubuh dan meningkatkan inflamasi yang dikaitkan dengan risiko kanker. Dengan studi ini sepertinya tidak alasan untuk takut," kata Dr.Lidia Schapira dari Harvard Medical School, mengomentari penelitian tersebut.

Penelitian Heikkila itu dilakukan dengan mengumpulkan data 116.000 pria dan wanita berusia 17-70 tahun dari Finlandia, Perancis, Belanda, Swedia, Denmark dan Inggris. Para responden sudah mengikuti 1 dari 12 studi mengenai level stres dalam pekerjaan mereka. Penelitian semacam itu disebut juga dengan analisis meta.

Para peneliti mengelompokkan berbagai jenis stres pekerjaan disesuaikan dengan tingginya tuntutan pekerjaan dan kendali para responden atas pekerjaannya.

Secara umum, para peneliti tidak menemukan peningkatan risiko kanker pada orang yang tertekan oleh pekerjaannya.

Meski begitu penelitian jenis analisis meta semacam itu memiliki kelemahan, antara lain para peneliti hanya melihat hasil akhir atau kesimpulan dari beberapa penelitian tanpa memperhitungkan akar masalah yang diteliti.

Sumber: Everyday Health

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites