Merencanakan
pernikahan adalah hal yang mulia, namun cukupkah hanya bermodalkan cinta?
Menurut psikolog Ratih Ibrahim, membina hubungan pernikahan tidak cukup bila
hanya bermodal cinta.
Ia mengatakan,
anggapan yang mengatakan bahwa cinta sudah cukup untuk menjalin hubungan rumah
tangga bisa menjadi sangat menjerumuskan. Bila pasangan tahu bahwa hubungan
mereka hanya bermodal cinta, seharusnya jangan dilanjutkan terlalu dalam.
Ratih
menganjurkan aspek pertama yang harus dipertimbangkan saat akan menikah adalah
akal sehat. Emosi cinta perlu diselaraskan dengan rasional akal sehat.
“Ih gila ya
nggak berperasaan, bukan begitu. Tapi akal sehat harus dipakai benar-benar.
Apalagi perkawinan. Perkawinan itu akal sehat juga harus jalan, bukan pakai
makan perasaan saja,” jelasnya di kantor Taman Aries, Kembangan, Jakarta Barat,
Senin (7/5/2012).
Mengapa
perasaan bukan dijadikan satu-satunya modal dalam pernikahan? Menurut Ratih,
perasaan bisa hanya bertahan sementara dan yang menyelamatkan pernikahan justru
akal sehat.
“Kalau akal
sehat nggak dipakai terus cuma rasa aja, terus rasanya memudar, mau ngapain
coba,” ujar Direktur Personal Growth.
Aspek lain
selain akal sehat saat mempertimbangkan akan menikah adalah kestabilan. Aspek
ini bisa meliputi banyak hal. Pertama bisa kestabilan dalam hal pangan,
sandang, dan papan, bukan hanya cinta.
“Cinta kan
cukup untuk kita saling memiliki itu cuma ada di lagu aja. Kalau nggak makan,
nggak akan sehat, otak juga nggak jalan, juga nggak berfungsi,” tutur psikolog
lulusan Universitas Indonesia ini.
Ia melihat
banyak pernikahan yang justru berakhir dengan ketidakstabilan sandang, pangan
dan papan. “Bubaran lantaran ternyata laper itu nggak enak,” katanya.
Menurutnya,
pasangan juga tidak boleh melupakan kalau menjalin pernikahan nanti akan
dikaruniai anak. Mendampingi setiap
perkembangan anak pasti tidak hanya cukup bermodalkan cinta.
“Memang
anak-anak itu bisa dikasih makan atau hidup karena bapak ibunya saling cinta?
Bapak ibunya harus punya akal sehat, supaya tahu bagaimana bertanggungjawab
untuk memberikan kehidupan yang pantas buat anaknya,” paparnya.
Sumber:
psikologizone.com
0 komentar:
Post a Comment