Di Indonesia
hanya 3,5 persen penderita gangguan jiwa berat yang mendapatkan terapi oleh
petugas kesehatan. Artinya 96,5 persen di antaranya tidak mendapatkan
pengobatan yang semestinya. Tindakan pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah
ters ebut dinilai melanggar hak asasi manusia para penderita gangguan jiwa.
"96,5
persen penderita yang tidak mendapat pengobatan itu umumnya dikurung, dipasung,
atau menggelandang," kata Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Yeni Rosa Damayanti.
Rombongan
Perhimpunan Jiwa Sehat tersebut diterima oleh Ketua Komnas HAM Joni Simanjuntak
dan Stanley Prasetyo Adi dari Sub Komisi Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM.
"Ada empat
soal yang perlu didalami oleh Komnas HAM: tumpang tindih soal kewenan gan,
perlakuan medis, perhatian pemerintah, dan ketersediaan tenaga ahli atau dokter
untuk menangani penderita gangguan jiwa," kata Joni Simanjuntak.
Hasil
investigasi Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial DKI Jakarta didapat data jumlah
Warga Binaan Sosial (WBS) atau pasien yang meninggal dunia di Panti Cengkareng
sejak 2007-Mei 2009 sebanyak 253 pasien, Panti Cipayung sebanyak 70 orang,
Panti Ceger sebanyak 7 orang, Panti Daan Mogot sebanyak 15 orang, dan di Rumah
Sakit Duren Sawit sebanyak 172 pasien. Jadi total WBS atau pasien yang
meninggal di lima tempat tersebut sejak tahun 2007-Mei 2009 sebanyak 517
pasien.
Penyebab
WBS/pasien tersebut meninggal antara lain karena malnutrisi (kurang gizi).
Anggaran untuk konsumsi hanya Rp 15.000 per orang per hari, diare, anemia, dan
pada waktu masuk panti WBS hasil razia telah menderita berbagai penyakit fisik
(sakit kulit, TBC, anemia, dan lain-lain).
Banyaknya WBS
atau pasien di panti-panti tersebut yang meninggal tersebut menunjukkan tidak
adanya perhatian pemerint ah terhadap penderita gangguan jiwa. Alokasi anggaran
hanya 1,5 persen dari keseluruhan anggaran kesehatan di APBN.
Hervita Diatri,
psikiater dari Psikiatri Universitas Indonesia yang bertugas paruh waktu ke
panti mengatakan, banyak pasien yang tidak mendapatkan lanyanan meski sudah
banyak mobile clinic. Kondisi di panti pun memprihatinkan, seperti tidak
ada yang mengawasi WBS makan atau tidak, WBS yang gaduh gelisah dicampur dengan
yang tenang, panti kekurangan tenaga yang mampu menangani WBS, bahkan ada
kepala panti yang merupakan pekerja sosial yang sama sekali tidak tahu soal
kesehatan jiwa.
Budiana Keliat
PhD dari Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia menyatakan, tenaga
perawat untuk mengurus para penderita gangguan jiwa di panti-panti juga masih
sangat kurang.
"Dua atau
tiga perawat harus mengurus 600 pasien itu tentu tugas yang sangat berat,"
kata Budianan Keliat.
Mengapa
pemerintah tidak memberikan perhatian pada penderita gangguan jiwa, menurut psikiater
dr Pandu Setiawan SpKJ, dari sudut pandang kesejarahan isu kesehatan dianggap
tidak penting jika tidak mengarah kepada kematian.
"Jadi
gangguan jiwa tidak dianggap penting karena tidak menyebabkan kematian, tapi
terbukti sekarang justru gangguan jiwa menjadi beban yang lebih berat
dibandingkan penyakit jantung, atau penyakit lainnya," kata Pandu
Setiawan.
Selain
persoalan gangguan jiwa berat, yang harus juga mendapatkan perhatian adalah
18,6 juta penduduk Indonesia (11.6 persen) yang berusia di atas 15 tahun
mengalami masa lah mental emosional (di luar gangguan jiwa berat). Di DKI
Jakarta saja jumlah orang yang mengalami masalah mental emosional di atas
rata-rata nasional yaitu 14,1 persen atau 1.275.000 penduduk Jakarta yang
berusia di atas 15 tahun.
0 komentar:
Post a Comment