English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Thursday, May 31, 2012

Musik Mampu Tingkatkan Produktivitas Karyawan


Suasana kerja yang dilatarbelakangi suara musik dinilai lebih baik daripada sauna hening. Para peneliti pun mengklaim kondisi tersebut mampu memicu kreativitas di tempat kerja.

Tingkat musik yang ideal untuk bekerja adalah 70 desibel. "Ini adalah 'prinsip Goldilocks'," kata Profesor Ravi Mehta dari University of Illinois yang mempelajari cara otak memproses informasi terhadap berbagai tingkat kebisingan latar belakang.

"Tingkat moderat kebisingan tidak hanya meningkatkan pemecahan masalah-kreatif tetapi juga mengarah pada adopsi yang lebih besar dari produk-produk inovatif dalam pengaturan tertentu," kata Profesor Mehta.

"Suara moderat akan membuat Anda berpikir 'out-of-the-box', apa yang kita sebut pemikiran abstrak atau pengolahan abstrak, ini bisa meningkatkan kreativitas."

"Tapi ketika tingkat kebisingan terlampau tinggi, ini bisa mulai mempengaruhi proses berpikir," tambahnya. Artinya bagi mereka yang ingin bekerja sendiri, misalnya, mereka akan lebih baik berada di warung kopi daripada di rumah dalam keheningan.

"Daripada mengubur diri sendiri dalam ruangan yang tenang mencoba untuk mencari solusi, lebih baik berjalan di luar zona kenyamanan seseorang dan masuk ke lingkungan yang relatif berisik seperti kafe sebenarnya dapat memicu otak untuk berpikir secara abstrak, dan dengan demikian menghasilkan ide-ide kreatif," katanya.


Sumber: www.metrotvnews.com

Monday, May 28, 2012

Modal Cinta Saja Tidak Cukup Untuk Menikah


Merencanakan pernikahan adalah hal yang mulia, namun cukupkah hanya bermodalkan cinta? Menurut psikolog Ratih Ibrahim, membina hubungan pernikahan tidak cukup bila hanya bermodal cinta.

Ia mengatakan, anggapan yang mengatakan bahwa cinta sudah cukup untuk menjalin hubungan rumah tangga bisa menjadi sangat menjerumuskan. Bila pasangan tahu bahwa hubungan mereka hanya bermodal cinta, seharusnya jangan dilanjutkan terlalu dalam.

Ratih menganjurkan aspek pertama yang harus dipertimbangkan saat akan menikah adalah akal sehat. Emosi cinta perlu diselaraskan dengan rasional akal sehat.

“Ih gila ya nggak berperasaan, bukan begitu. Tapi akal sehat harus dipakai benar-benar. Apalagi perkawinan. Perkawinan itu akal sehat juga harus jalan, bukan pakai makan perasaan saja,” jelasnya di kantor Taman Aries, Kembangan, Jakarta Barat, Senin (7/5/2012).

Mengapa perasaan bukan dijadikan satu-satunya modal dalam pernikahan? Menurut Ratih, perasaan bisa hanya bertahan sementara dan yang menyelamatkan pernikahan justru akal sehat.
“Kalau akal sehat nggak dipakai terus cuma rasa aja, terus rasanya memudar, mau ngapain coba,” ujar Direktur Personal Growth.

Aspek lain selain akal sehat saat mempertimbangkan akan menikah adalah kestabilan. Aspek ini bisa meliputi banyak hal. Pertama bisa kestabilan dalam hal pangan, sandang, dan papan, bukan hanya cinta.

“Cinta kan cukup untuk kita saling memiliki itu cuma ada di lagu aja. Kalau nggak makan, nggak akan sehat, otak juga nggak jalan, juga nggak berfungsi,” tutur psikolog lulusan Universitas Indonesia ini.

Ia melihat banyak pernikahan yang justru berakhir dengan ketidakstabilan sandang, pangan dan papan. “Bubaran lantaran ternyata laper itu nggak enak,” katanya.

Menurutnya, pasangan juga tidak boleh melupakan kalau menjalin pernikahan nanti akan dikaruniai anak. Mendampingi setiap perkembangan anak pasti tidak hanya cukup bermodalkan cinta.

“Memang anak-anak itu bisa dikasih makan atau hidup karena bapak ibunya saling cinta? Bapak ibunya harus punya akal sehat, supaya tahu bagaimana bertanggungjawab untuk memberikan kehidupan yang pantas buat anaknya,” paparnya.

Sumber: psikologizone.com

Depresi Pekerjaan: Pria dan Wanita Beda Pemicu


Beberapa riset telah menemukan hubungan antara pekerjaan dan risiko depresi. Namun para ahli di Kanada mengungkapkan, depresi akibat pekerjaan pada perempuan dan pria dipengaruhi oleh hal yang berbeda.


Peneliti mengatakan, perempuan cenderung lebih rentan mengalami depresi apabila mereka tidak dihargai atas pekerjaan mereka atau tidak mendapatkan perhargaan atas apa yang mereka lakukan. Sementara pada pria, hubungan tersebut tidak ditemukan.



Pada pria, risiko depresi lebih mungkin disebabkan karena intensitas jam kerja, terutama pada pria yang bekerja secara penuh (fulltime). Sedangkan konflik keluarga dan pekerjaan turut memengaruhi risiko depresi baik pada pria maupun wanita, tetapi dalam cara yang berbeda.

Pria cenderung mengalami peningkatan risiko depresi jika kehidupan keluarga mereka memengaruhi kehidupan kerja. Sedangkan perempuan berisiko depresi jika kehidupan pekerjaan mereka mengganggu kehidupan keluarga.


"Meskipun lebih banyak tenaga kerja perempuan dan lebih banyak pria yang menjadi tulang punggung keluarga, baik pria dan wanita mungkin melihat peran keluarga atau pekerjaan secara berbeda," kata peneliti Jianli Wang, profesor di Departemen Psikiatri dan Komunitas Ilmu Kesehatan di University of Calgary di Alberta, Kanada.



Dalam kajiannya, Wang dan rekannya meneliti sekitar 2.700 pria dan perempuan yang hidup di Alberta antara tahun 2008-2011 dan tidak mengalami depresi. Peserta diikuti untuk melihat apakah mereka mengembangkan depresi. Peserta juga diminta menjawab pertanyaan mengenai pekerjaan mereka, seperti tekanan dalam pekerjaan dan apakah mereka merasa cukup dihargai atas usaha mereka atau tidak.



Setelah satu tahun, 3,6 persen dari peserta didiagnosis dengan depresi. Insiden depresi lebih tinggi pada wanita (4,5 persen), sedangkan pada pria (2,9 persen)



Perempuan yang bekerja secara fulltime, yakni antara 35 sampai 40 jam dalam seminggu, memiliki peningkatan risiko terkena depresi. Sementara pada pria yang bekerja fulltime dan mendapatkan tekanan kerja yang tinggi rentan mengalami depresi sekitar 11 persen dibandingkan dengan 1,5 persen pria yang bekerja fulltime dan tidak memiliki beban kerja tinggi.



Khawatir tentang kehilangan pekerjaan juga meningkatkan risiko depresi pada pria dan wanita.



Wang mengatakan, depresi memiliki dampak signifikan pada kesehatan karyawan dan mempengaruhi prestasi kerja. "Para pengusaha harus memantau besarnya faktor risiko ini, seperti ketegangan pekerjaan, untuk mencegah efek negatif pada pekerja, kata Wang.



Menurut Wang, perlu penelitian lebih lanjut dengan skala lebih besar untuk mengkonfirmasi hasil temuannya. Penelitian yang lebih besar juga dapat membantu dalam pengembangan strategi bagi pengusaha untuk mencegah depresi pada karyawan, kata para peneliti. Studi ini dipublikasikan pada 3 Mei 2012 dalam American Journal of Epidemiology.


Sumber : FOXNews

Galau Bisa Menyebabkan Gangguan Kejiwaan


Miris, galau sudah menjadi tren bagi kalangan remaja di Indonesia. Padahal galau yang memiliki intensitas yang terlalu sering, bisa mengakibatkan gangguan kejiwaan pada remaja. Gangguan tersebut dinamakan dengan bipolar, yaitu sebuah bentuk gangguan jiwa yang bersifat episodik atau berulang dalam jangka waktu tertentu. Gangguan ini biasa dimulai dari gejala perubahan mood (suana hati) dan bisa terjadi seumur hidup.

“Remaja yang dikenal sedang mengalami masa-masa galau, memang sangat mudah terserang depresi,” ungkap Dr A. A. Ayu Agung Kusumawardhani, SpKJ(K) Kepala Departemen Psikiatri RSCM.

Seseorang harus jeli melihat gejala bipolar sebagai bentuk penyesuaian diri atau sudah merupakan episode depresi.

“Kita harus lihat apakah itu hanya berupa penyesuaian diri pada keadaan atau kah sudah merupakan episode depresi,” kata Agung saat dalam seminar ‘Gangguan Bipolar: Dapatkah Dikendalikan?’ di Hotel JW Marriott Jakarta, Rabu (25/4).

Episode depresi biasa terjadi pada penderita bipolar, minimal setiap hari selama dua minggu.
“Hal ini dapat terlihat dari perilakunya, yang tidak mau bertemu dengan orang-orang, pesimistik, memikirkan sesuatu yang nihilistik, maka kemungkinan untuk dapat terpicu bipolar 30 persen,” papar Agung.

Perlu dibedakan antara depresi reaktif dan depresi pada gangguan bipolar. Tentu cara membedakannya dengan melakukan serangkaian tes tertentu. Hal ini diucapkan oleh dr.Handoko Daeng, SpKJ(K) Ketua Seksi Bipolar Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), yang saat itu hadir dalam acara seminar.

“Jenis depresi yang berbeda, karena setiap orang pasti dapat merasakan sedih dan pesimis. Namun bila itu terjadi terus menerus atau disebut sebagai episode depresi, maka perlu dikhawatirkan,” jelas Daeng.

Beberapa masalah lain yang perlu diperhatikan adalah gangguan bipolar bisa mengakibatkan bunuh diri bagi penderitanya. Angka bunuh diri yang diakibatkan gangguan bipolar 20 kali lebih tinggi dibanding angka bunuh diri dalam populasi umum tanpa gangguan bipolar, yaitu 21,7 persen dibanding satu persen.

Ia mengatakan, bila dibandingkan dengan penderita skizofrenia, bipolar juga 2-3 kali berpotensi melakukan tindakan bunuh diri. Ada sekitar 10 hingga 20 persen penderita bipolar mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, dan 30 persen lainnya pernah mencoba bunuh diri.

Sumber: psikologizone.com

Wednesday, May 2, 2012

Kelainan Pada Otak Jadi Penyebab Anoreksia


Kelainan pada otak merupakan penyebab seseorang mengalami anoreksia. Hasil penelitian ini akan menjadi tantangan untuk mengetahui penyebab yang sama pada bentuk gangguan mental lainnya.

Anoreksia didefinisikan sebagai berat badan yang sangat minim, 15 persen dibawah berat badan normal dan bisa berujung kematian.

Penelitian awal dilakukan pada penderita anoreksia dengan menggunakan teknik pencitraan otak. Bila penyebabnya karna kelainan pada otak, maka bentuk penanganan dan pengobatan bisa menjadi berbeda.

Psikolog Dr Ian Framton dari Exeter University, salah satu peneliti yang memimpin studi tersebut mengatakan, “kami percaya ada sebuah masalah kecil dalam perkembangan otak yang membuat orang rentan mengalami anoreksia. Kita perlu memeriksa kembali pada bentuk gangguan mental lainnya.”

Penelitian ini juga dipimpin oleh Profesor Birak Lask dari Great Ormond Street Children’s Hospital, seorang ahli terkemuka bidang gangguan makan.

Ia dan timnya menggunakan teknik pemindaian baru untuk mengungkap ada kerusakan pada bagian insula pada penderita anoreksia, sebuah wilayah kunci yang mengontrol makan, kecemasan dan citra tubuh.

Sepertiga penderita ditemukan mengalami kelainan pada otak saat disorot dengan alat pencitraan. Peneliti percaya penyebab biologis lain mempengaruhi sisa dua pertiga dari penderita. Bagian ini yang bisa membuat pasien kambuh kembali.

Dr Frampton menjelaskan, “penderita anoreksia cenderung mengalami kegagalan saat ingin mengembalikan berat badan, karena sebenarnya ada sebuah kesalahan pada otak mereka. Tidak akan mudah untuk menyembuhkannya.”

Temuan yang dipublikasikan dalam jurnal Medical Hypothesis ini bisa membantu dan juga membuka perdebatan atas kesimpulan penyebab anoreksia lainnya. Termasuk membuat perdebatan pada penyebab penyakit mental lain seperti depresi dan gangguan bipolar.

Dr Frampton menambahkan, “adanya perbedaan insula di otak menunjukkan, mengapa penderita anoreksia berperilaku seperti yang mereka lakukan. Hanya mereka yang memiliki kelainan biologis yang rentan melakukan diet berlebih.”

Ia percaya bahwa terapi mungkin bisa membantu untuk mengontrol anoreksia, di mana 40 persen dari penderita bisa kambuh kembali setelah satu tahun.

Mary George, dari Beat, sebuah website untuk penanganan gangguan makan mengatakan, “Meskipun mungkin ada komponen genetik yang menyebabkan anoreksia, kami percaya bahwa tekanan sosial bagi remaja untuk memiliki tubuh ideal adalah faktor penyebabnya.” (ex/mba)

Sumber:
-http://www.psikologizone.com/kelainan-pada-otak-jadi-penyebab-anoreksia/065116297

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites