English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Tuesday, January 31, 2012

Perempuan, Tak Mudah Korupsi

Perempuan dikatakan memiliki hasrat lebih rendah untuk menerima suap atau melakukan tindak pidana korupsi.

Hasil penelitian Bank Dunia 1999 Corruption And Woman In Goverment menyatakan jumlah anggota parlemen perempuan yang lebih banyak di suatu negara berpotensi kuat menurunkan tingkat korupsi.

"Seharusnya dimaksimalkan (peranan) karena mampu menjadi pengontrol dan pengarah bagi lelaki yang sering gelap mata dan salah langkah," ujar Aviliani dari INDEF.

Sayang, jumlah legislator perempuan periode 2004-2009 hanya 61 orang (11 persen). Ini termasuk angka yang sangat kecil. "Peranannya belum signifikan, padahal sejauh ini belum ada anggota DPR perempuan yang terlibat korupsi," tambahnya.

Aviliani menegaskan, meningkatnya perilaku korupsi di DPR RI saat ini, lebih karena biaya politik legislator yang sangat besar yang didukung oleh posisinya sebagai petugas pembuat undang-undang. Jumlah modal yang dibutuhkan seorang caleg mencapai Rp 5-6 miliar.

"Mereka menyalahgunakan (posisinya) untuk menekan eksekutif karena tanpa biaya, UU tidak akan sah tepat waktu. Sementara permintaan partai macam-macam seperti setoran ke parpol dan tim sukses," papar Aviliani.

Aktivis perempuan Siti Musdah Mulia mengatakan, rasa malu menjadi kekuatan yang efektif bagi legislator perempuan untuk tidak melakukan perilaku korupsi.

"Mereka malu terlibat dalam deal-deal proyek dengan mitra kerja, malu untuk minta-minta komisi atau menekan rekanan pemerintah dan malu jika pekerjaan mereka terlihat tidak berhasil," katanya.

Korupsi, menurut Musdah, muncul karena faktor individu yang berorientasi kultural pada kekuasaan dan kekayaan, memiliki sifat hipokrit dan tidak punya rasa malu.

Sementara Ketua KPK, Antasari Azhar, mengharap, legislator perempuan tidak hanya sekedar pemenuh syarat kuota, melainkan bisa menjadi lokomotif antikorupsi.

"Menjadi penyaring kebijakan-kebijakan yang berpotensi menimbulkan korupsi dan mendorong masuknya nilai-nilai antikorupsi dalam etika perpolitikan," pungkasnya.

Sumber: health.kompas.com

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites