Menurut Herbert Freudenberger
Freudenberger menggunakan istilah yang pada awalnya digunakan pada tahun 1960 an untuk merujuk pada efek-efek penyalahgunaan obat-obat terlarang yang kronis (Freudenberger dan Richelson dalam Farber, 1991). Deskripsi awal Freudenberger mengenai seseorang yang menderita karena sindrom burnout sebenarnya diawali pada dirinya sendiri. Ia menyatakan bahwa: " ….dan anda menempatkan sebagian besar diri anda di dalam pekerjaan. Anda secara gradual terbentuk di dalam lingkungan sekitar anda dan di dalam diri anda sendiri ada perasaan bahwa mereka membutuhkan anda. Anda merasakan sense of commitment yang utuh" (Farber, 1991). Hal tersebut maksudnya adalah jika kita bekerja pada suatu pelayanan, misalnya guru, maka kita akan terbentuk secara keseluruhan oleh atmosfir layanan pembelajaran secara intens dengan membiarkan keterlibatan pribadi kita dan sumber emosi kita sampai pada akhirnya kita menemukan diri kita dalam keadaan kelelahan. Dari gambaran tersebut, nampak bahwa terdapat pemahaman awal mengenai burnout adalah suatu bentuk kelelahan yang disebabkan karena seseorang bekerja terlalu intens, berdedikasi dan berkomitmen, bekerja terlalu banyak dan terlalu lama serta memandang kebutuhan dan keinginan mereka sebagai hal kedua. Hal tersebut menyebabkan mereka merasakan adanya tekanan-tekanan untuk memberi lebih banyak. Tekanan ini bisa berasal dari dalam diri mereka sendiri, dari klien/siswa yang amat membutuhkan, dan dari kepungan para administrator (penilik/pengawas dan sebagainya). Dengan adanya tekanan-tekanan ini, maka dapat menimbulkan rasa bersalah, yang pada gilirannya mendorong mereka untuk menambah energi dengan lebih besar. Ketika realitas yang ada tidak mendukung idealisme mereka, maka mereka tetap berupaya mencapai idealisme tersebut sampai akhirnya sumber diri mereka terkuras, sehingga mereka mengalami kelelahan atau frustrasi yang disebabkan terhalangnya pencapaian harapan (Freudenberger dalam Farber, 1991).
Menurut Cicilia Maslach
Penelitian tentang burnout sendiri sebenarnya telah berlangsung selama 20 tahun (Maslach, 1993) sehingga menghasilkan berbagai ragam pengertian. Maslach dan Jackson dalam penelitiannya tersebut tentang burnout pada bidang pekerjaan yang berorientasi melayani orang lain seperti bidang kesehatan mental, bidang pelayanan kesehatan, bidang pelayanan sosial, bidang penegakan hukum, maupun bidang pendidikan, dalam perkembangannya telah memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam memahami burnout. Mereka menemukan bahwa burnout merupakan suatu pengertian yang multidimensional. Burnout merupakan sindrom psikologis yang terdiri atas tiga dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, maupun low personal accomplishment (Maslach, 1993). Ia menjelaskan bahwa pekerjaan yang berorientasi melayani orang lain dapat membentuk hubungan yang bersifat "asimetris" antara pemberi dan penerima pelayanan. Seseorang yang bekerja pada bidang pelayanan, ia akan memberikan perhatian, pelayanan, bantuan, dan dukungan kepada klien, siswa, atau pasien. Hubungan yang tidak seimbang tersebut dapat menimbulkan ketegangan emosional yang berujung dengan terkurasnya sumber-sumber emosional.
Profesi pelayanan, misalnya guru, pada dasarnya merupakan suatu pekerjaan yang menghadapi tuntutan dan pelibatan emosional. Seseorang terkadang dihadapkan pada pengalaman negatif dengan siswa sehingga menimbulkan ketegangan emosional. Situasi tersebut secara terus menerus dan akumulatif dapat menguras sumber energi guru. Karenanya, kelelahan emosional merupakan inti dari sindrom burnout (Maslach, 1982; Maslach dalam Caputo, 1991). Kelelahan emosional ditandai dengan terkurasnya sumber-sumber emosional, misalnya perasaan frustrasi, putus asa, sedih, tidak berdaya, tertekan, apatis terhadap pekerjaan dan merasa terbelenggu oleh tugas-tugas dalam pekerjaan sehingga seseorang merasa tidak mampu memberikan pelayanan secara psikologis. Selain itu, mereka mudah tersinggung dan mudah marah tanpa alasan yang jelas. Berikut adalah contoh ungkapan yang menggambarkan adanya kelelahan emosional dari seorang guru: "Setiap hari saya merasa lelah di sekolah karena saya ingin membuktikan bahwa saya adalah guru yang baik bagi siswa khususnya, orang lain serta diri sendiri. Saya sudah merasa lelah sekali, namun semua yang telah saya berikan apakah akan memperoleh balasan yang seimbang ( Maslach, 1982).
Depersonalisasi, menurut Maslach (1993) merupakan perkembangan dari dimensi kelelahan emosional. Ia menjelaskan depersonalisasi adalah coping (proses mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan dan kemampuan individu) yang dilakukan individu untuk mengatasi kelelahan emosional. Perilaku tersebut adalah suatu upaya untuk melindungi diri dari tuntutan emosional yang berlebihan dengan memperlakukan siswa sebagai objek. Gambaran dari depersonalisasi adalah adanya sikap negatif, kasar, menjaga jarak dengan penerima layanan, menjauhnya seseorang dari lingkungan sosial, dan cenderung tidak peduli terhadap lingkungan serta orang-orang di sekitarnya. Sikap lainnya yang muncul adalah kehilangan idealisme, mengurangi kontak dengan klien/siswa, berhubungan seperlunya saja, berpendapat negatif dan bersikap sinis terhadap klien/siswa. Secara konkret seseorang yang sedang depersonalisasi cenderung meremehkan, memperolok, tidak peduli dengan orang lain yang dilayani, dan bersikap kasar. Adapun rendahnya hasrat pencapaian prestasi diri ditandai dengan adanya perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, pekerjaan, dan bahkan kehidupan, serta merasa bahwa ia belum pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat (Pines dan Aronson, 1989). Hal ini mengacu pada penilaian yang rendah terhadap kompetensi diri dan pencapaian keberhasilan diri dalam pekerjaan. Maslach ( 1982) menyatakan bahwa low personal accomplishment disebabkan oleh perasaan bersalah telah melakukan klien secara negatif. Seseorang merasa bahwa dirinya telah berubah menjadi orang yang berkualitas buruk terhadap klien/siswa, misalnya tidak memperhatikan kebutuhan mereka. Padahal seorang pemberi layanan dituntut untuk selalu memiliki perilaku yang positif, misalnya penyabar, penuh perhatian, hangat, humoris, dan yang paling penting adalah mempunyai rasa empati.
Menurut Ayala Pines dan Elliot Aronson
Burnout merupakan kondisi emosional di mana seseorang merasa lelah dan jenuh secara mental ataupun fisik sebagai akibat tuntutan pekerjaan yang meningkat (Republika, 5 Agustus 1993). Timbulnya kelelahan ini karena mereka bekerja keras, merasa bersalah, merasa tidak berdaya, merasa tidak ada harapan, merasa terjebak, kesedihan yang mendalam, merasa malu, dan secara terus menerus membentuk lingkaran dan menghasilkan perasaan lelah dan tidak nyaman, yang pada gilirannya meningkatkan rasa kesal, dan lingkaran terus berlanjut sehingga dapat menimbulkan kelelahan fisik, kelelahan mental dan kelelahan emosional (Pines dan Aronson, 1989). Kemudian Pines dan Aronson pun mendefinisikan burnout sebagai kelelahan secara fisik, mental, dan emosional. Menurut mereka burnout dialami oleh seseorang yang bekerja di sektor pelayanan sosial yang cukup lama. Pada jenis pekerjaan tersebut, menurutnya, seseorang menghadapi tuntutan dari klien, tingkat keberhasilan dari pekerjaan rendah, dan kurangnya penghargaan yang adekuat terhadap kinerja pemberi layanan. Situasi menghadapi tuntutan dari penerima layanan menggambarkan keadaan yang menuntut secara emosional (emotionally demanding). Pada akhirnya dalam jangka panjang seseorang akan mengalami kelelahan, karena ia berusaha memberikan sesuatu secara maksimal, namun memperoleh apresiasi yang minimal. Karenanya, terhadap pengertian burnout Pines dan Aronson (1989) menyatakan bahwa walaupun intensitas, durasi, frekuensi, dan konsekuensinya beragam, burnout selalu mempunyai tiga komponen, yaitu kelelahan fisik, kelelahan emosional, dan kelelahan mental (Werther, 1996; Baron dan Paulus, 1991; Stoner dan Freman, 1992; Caputo, 1991). Gambaran dari ketiga dimensi tersebut menurut Pines dan Aronson (1989) adalah: (1) kelelahan fisik, yaitu suatu kelelahan yang bersifat sakit fisik dan energi fisik; (2) kelelahan emosional, yaitu suatu kelelahan pada individu yang berhubungan dengan perasaan pribadi yang ditandai dengan rasa tidak berdaya dan depresi (3) kelelahan mental, yaitu suatu kondisi kelelahan pada individu yang berhubungan dengan rendahnya penghargaan diri dan depersonalisasi.
Sakit fisik dicirikan seperti sakit kepala, demam, sakit punggung (rasa ngilu), rentan terhadap penyakit, tegang pada otot leher dan bahu, sering terkena flu, susah tidur, mual-mual, gelisah, dan perubahan kebiasaan makan. Energi fisik dicirikan seperti energi yang rendah, rasa letih yang kronis, dan lemah.
Kelelahan emosi ini dicirikan antara lain rasa bosan, mudah tersinggung, sinisme, perasaan tidak menolong, ratapan yang tiada henti, tidak dapat dikontrol (suka marah), gelisah, tidak peduli terhadap tujuan, tidak peduli dengan peserta didik (orang lain), merasa tidak memilki apa-apa untuk diberikan, sia-sia, putus asa, sedih, tertekan, dan tidak berdaya
Kelelahan mental ini dicirikan antara lain merasa tidak berharga, rasa benci, rasa gagal, tidak peka, sinis, kurang bersimpati dengan orang lain, mempunyai sikap negatif terhadap orang lain, cenderung masa bodoh dengan dirinya, pekerjaannya dan kehidupannya, acuh tak acuh, pilih kasih, selalu menyalahkan, kurang bertoleransi terhadap orang yang ditolong, ketidakpuasan terhadap pekerjaan, konsep diri yang rendah, merasa tidak cakap, merasa tidak kompeten, dan tidak puas dengan jalan hidup.
Menurut Cary Cherniss
Cherniss (1980) menyatakan bahwa burnout merupakan perubahan sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara psikologis dari pekerjaan, seperti menjaga jarak dengan klien maupun bersikap sinis dengan mereka, membolos, sering terlambat, dan keinginan pindah kerja yang kuat. Pandangan Cherniss ini nampak sejalan dengan pandangan Freuddenberger bahwa seseorang memiliki sikap antusias dan tujuan yang hendak mereka capai pada awal bekerja. Ia merasa terpanggil untuk bekerja, sehingga idealisme mereka pun tinggi. Namun, stres yang dialami secara kronis menyebabkan mereka mengalami perubahan motivasi, mereka mengalami burnout (Greenberg dan Baron, 1993).
Walaupun setiap pengertian burnout merefleksikan keunikan sehingga tampil beragam namun setiap batasan yang dikemukakan oleh para tokoh tersebut di atas pada umumnya dapat disimpulkan memiliki kesamaan, yaitu bahwa burnout terjadi pada tingkat individu dan merupakan pengalaman yang bersifat psikologis karena melibatkan perasaan, sikap, motif, harapan, dan dipersepsi individu sebagai pengalaman negatif yang mengacu pada situasi yang menimbulkan distres, ketidaknyamanan, atau disfungsi.
Burnout bukan sebuah penyakit (Hess,1981). Ia merupakan hasil dari sebuah reaksi terhadap: (1) harapan dan tujuan yang tidak realistik terhadap perubahan yang diinginkan, (2) pekerjaan yang mempunyai tuntutan interaksi emosional yang relatif konstan dengan orang lain, dan (3) tujuan jangka panjang yang sulit dicapai.
0 komentar:
Post a Comment